Terorisme adalah penggunaan kekerasan dengan sengaja, tak
dapat dibenarkan, dan acak terhadap warga sipil (noncombatant) untuk
tujuan politik. Tak pelak lagi, tidak ada hubungan yang tak terhindarkan
antara Islam, atau agama besar mana pun juga, dan terorisme. Nyatanya,
selalu terdapat kebingungan antara fenomena kekerasan politik dan
terorisme.
Istilah terorisme merujuk pada kategori khusus aksi-aksi keji ketimbang seluruh aksi kekerasan yang terinspirasi secara politik. Kaum Muslim telah terlibat dalam terorisme di era modern, dan, sebagaimana keterlibatan orang Kristen dan Yahudi dalam terorisme, kadang mereka mengklaim suatu pembenaran berdasarkan agama.
Nyatanya,
bagaimanapun juga, syariah (hukum Tuhan), tidak memaafkan penggunaan
kekerasan kecuali untuk memerangi ketidakadilan, dan kekebalan rakyat
sipil (noncombatant) merupakan ciri utama dari pemikiran Islam tentang
jihad. Dalam peperangan, keharusan mungkin membenarkan noncombatant
terkena imbasnya, tapi tak boleh membahayakan orang yang tak ikut perang
secara sengaja atau melampaui batas. Jadi, frase seperti “terorisme
Islam” sama sekali tidak merepresantikan kekerasan yang berakar pada
agama yang dilakukan oleh kaum Muslim.
Lebih daripada bagian ummat Muslim yang lain, Timur Tengah telah, sejak Perang Dunia II, menjadi kawasan bercitra buruk sebagai gelanggang terorisme, kendati para pelaku tidak mengakui bertindak atas nama Islam. Tak dapat disangkal, aksi terorisme politik modern di kawasan itu adalah pemboman Hotel King David pada 1947, yang dilakukan oleh teroris Yahudi pimpinan Menachem Begin, pemimpin organisasi Irgun.
Menyusul
penciptaan negara Israel pada 1948, Begin menjadi pemimpin oposisi
politik, dan pada 1977 ia menjadi perdana menteri Israel. Pada 1960-an
dan 1970-an, gerilyawan Palestina (fida’iyin) melancarkan puluhan aksi
yang menghebohkan terhadap orang-orang yang tidak bersalah, semua
tindakan itu atas nama memperoleh pengakuan bagi nasionalisme Palestina.
Aksi-aksi ini termasuk pembantaian atlit Israel dalam Olimpiade Munich pada 1972, rangkaian panjang pembajakan pesawat, termasuk empat kali pada 1970 yang mempercepat perang saudara di Yordania, dan beberapa serangan berdarah baik di dalam negara Israel sendiri maupun di Eropa. Para pelaku Palestina diilhami secara berarti oleh ideologi sekuler untuk mendapatkan kembali tanah air mereka, bukan oleh agama. Hal yang sama bisa dikatakan bagi gerilyawan Kurdi yang, pada tahun 1980-an dan awal 1990-an, melakukan sejumlah aksi kekerasan yang kejam di Turki sebagai bagian dari upaya mereka mendapatkan negara Kurdi merdeka.
- Kaum Muslim, yang mengklaim alasan Islam bagi kekerasan mereka, juga patut diperhatikan. Di Mesir, pada tahun 1954, Ikhwanul Muslimin mencoba membunuh Gamal Abdul Naser, yang mempercepat penindasan terhadap organisasi itu.
- Kemudian, Presiden Anwar Sadat dibunuh oleh para makar Muslim ekstrimis pada 1981. Para revolusioner Muslim, berniat menjatuhkan rezim Husni Mubarak telah, sejak 1980-an, terlkibat dalam aksi-aksi kekerasan yang meningkat termasuk terorisme untuk mendestabilkan pemerintahan Mesir.
- Banyak dari tindakan buruk ini tidak memilah-milah, menargetkan wisatawan asing yang tak bersalah, selain pejabat negara, tentara, dan polisi. Tindakan-tindakan ini menggambarkan lingkup aktivitas yang merupakan kekerasan politik masa kini; apakah semuanya merupakan aksi terorisme itu masalah lain.
Terorisme terkenal
sulit untuk didefinisikan, karena istilah itu sering digunakan untuk
merujuk pada aksi kekerasan yang umum yang dilakukan oleh musuh politik.
Terorisme adalah julukan yang mengagumkan untuk menghantam atau memukul
tanpa ampun musuh seseorang. Tetapi tuduhan moral sering merendahkan
derajat, karena terdapat kecenderungan menerapkan label itu secara
selektif kepada musuh, sementara menutup mata terhadap aksi keji yang
sama yang dilakukan oleh kawan atau sekutu yang mengejar tujuan yang
menyenangkan.
Hak rakyat
untuk menentang pendudukan asing, seperti Israel terhadap Palestina,
dibenarkan, jika agak aneh, secara luas. Mayoritas pemerintahan di dunia
– termasuk Mesir, Perancis, Iran, Arab Saudi, dan Amerika Serikat (AS) –
mendukung kaum Muslim Afghan dengan berjuang dengan kekerasan terhadap
pendudukan Uni Soviet. Relatif hanya segelintir pengamat di luar Uni
Soviet menggambarkan mujahidin Afghan sebagai teroris, kendati
serangan-serangan mereka sering dikutuk sebagai terorisme oleh Uni
Soviet.
Sepanjang mujahidin mengarahkan upaya-upaya merekaterhadap kehadiran Uni Soviet di Afghanistan, mereka benar secara leterlek.
Dengan bukti yang sama, kendati kurang mendapat persetujuan secara umum, perlawanan Muslim Palestina terhadap pendudukan Israel, di mana Israel telah mendudukinya sejak 1967, akan didukung secara serupa, kendati kegemaran Israel dapat difahami untuk mereka yang menyerang sasaran-sasarannya sebagai teroris.
Uji
alat yang membunyikan mengalamatkan legitimasi cara ketimbang legalitas
teknis dari tujuan-tujuan. Jika kekuatan perlawanan orang Afghan atau
Palestina meluaskan serangan mereka yang meliputi kategori noncombatant
yang dilindungi, aksi-aksi mereka cenderung kehilangan status hal
istimewa. Apa pun politik pengamat, membedakan antara serangan terhadap
tentara yang menduduki negeri asing dan menyerang terhadap orang-orang
kategori orang yang dilindungi yang diterima secara universal, seperti
anak-anak, atau lebih luas lagi, noncombatant, tidak sulit. Sepanjang
kekuatan perlawanan memilah-milah dalam metode dan targetnya, tidak
dibenarkan secara objektif untuk melekatkan label teroris.
Penggunaan
kekerasan secara sengaja dan acak untuk tujuan politik terhadap
kelompok-kelompok yang dilindungi merupakan terorisme. Ini definisi yang
fungsional dan non-polemik yang memiliki kebaikan sifat hemat dan
universalitas. Para pelaku dapat berupa negara, agen negara, atau
individu yang bertindak secara independen.
Para sarjana biasa menekankan terorisme sebagai senjata pihak yang lemah. Kendati ada benarnya dalam pengamatan ini, seperti digambarkan oleh pemboman World Trade Center (WTC) di New York dan Pentagon di Washington oleh Tanzim al-Qaidah pimpinan Usamah bin Ladin, para pelaku utama bukanlah individu-individu atau aktor non-negara yang diilhami oleh visi Islam, tetapi pemerintahan-pemerintahan otoritarian yang kuat yang berniat memelihara atau meluaskan kekuasaan mereka, atau menghukum musuh-musuh mereka.
Dengan
gambaran di atas, bisa dimaklumi jika Organisasi Konferensi Islam (OKI)
mengecam Perdana Menteri Kanada Stephen Harper atas komentarnya yang
menyebut teroris Islam sebagai ancaman terbesar bagi perdamaian dunia.
Ekmeleddin
Ihsanoglu, Sekretaris Jenderal OKI mengecam pernyataan Harper dan
menilai hanya akan memperburuk kesalahpahaman dan kecurigaan antara
Barat dan dunia Islam, serta akan mengganggu upaya global untuk melawan
sikap fanatik dan kebencian antara agama dan budaya.
Dalam
wawancara dengan CBC News, PM Kanada yang dikenal sebagai sosok
non-Yahudi yang sangat pro-Israel dan dekat dengan komunitas Yahudi di
Kanada mengatakan bahwa ancaman terbesar bagi keamanan Kanada 10 tahun
setelah peristiwa serangan 11 September 2001 adalah "terorisme Islam." Harper
menambahkan, "ketika orang berpikir tentang terorisme Islam, mereka
akan berpikir tentang Afghanistan atau mungkin berpikir tentang beberapa
tempat di Timur Tengah, tapi kebenarannya adalah ancaman itu masih ada
di seluruh dunia."
Ihsanoglu menilai pernyataan Harper menyesatkan dan berpotensi memicu konflik. Penggunaan istilah terorisme Islam itu salah, sama salahnya dengan penggunaan istilah terorisme Kristen atau terorisme Yahudi. “Islam adalah agama yang damai dan penuh kasih sayang. Sikap kami berlandaskan ajaran Islam yang menolak segala bentuk terorisme dan kekerasan," tandas Sekjen OKI itu.
Ia menyatakan, justru banyak anggota OKI yang menjadi korban terorisme, mengalami penderitaan dan kerugian besar baik materi maupun jiwa manusia.
Selain
OKI, Liga Muslim Dunia yang berbasis di Makkah juga mengecam pernyataan
Harper. Direktur Jenderal bidang media dan hubungan masyarakat Liga
Muslim Dunia, Hassan Al-Ahdal menilai pernyataan Harper sebagai
pernyataan yang tak bertanggung jawab. "Seorang perdana
menteri seharusnya tidak mengeluarkan pernyataan semacam itu, yang
hanya akan menjadi bahan bakar bagi para ekstrimis untuk melakukan
serangan teroris dan akan memperdalam jurang pemisah antara Islam dan
Barat. Pernyataan seperti itu juga akan mendorong para pengidap
Islamofobia melakukan serangan terhadap masyarakat muslim yang menjadi
minoritas di negaranya," kritik Al-Ahdal.
Ia berharap para cendikiawan di Barat juga mengecam pernyataan Harper untuk lebih memperkuat hubungan baik antara Muslim dan Barat. "Para orang tua di negara-negara Muslim bisa-bisa tidak mengizinkan anaknya sekolah di Kanada, karena takut menjadi sasaran kebencian," tukas Al-Ahdal.( nov)
http://www.faktapos.com/content/fakta-analisa/12180-adakah-terorisme-islam.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar