PendahuluanFenomena paling menonjol di Indonesia
di ujung tahun 2007 dan awal 2008 adalah kekerasan antar kelompok
agama. Berbagai catatan akhir dan awal tahun oleh lembaga-lembaga
swadaya masyarakat yang menekuni bidang hak asasi manusia dan kebebasan
beragama dan berkeyakinan menunjukkan keprihatian yang mendalam dan
deretan catatan tentang arus pasang kekerasan antar kelompok agama
(lihat Monthly Report on Religious Issues- the Wahid Institute selanjutnya disebut MRRI-WI
No. 4, 5, dan 6). Namun yang lebih penting dari itu adalah bahwa peran
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan juga Ormas-ormas Islam lainnya dalam
ikut menentukan persepsi masyarakat tentang mana agama yang sah dan
sesat --yang menimbulkan kekerasan-- atau seharusnya dilenyapkan dari
bumi Indonesia (MRRI-The WI, No. 4). Dan di sisi lain, masih
dalam berbagai catatan tersebut, ketidakmampuan aparat negara untuk
menghentikan kekerasan dan memberi hukuman kepada para pelaku kekerasan.
Alih-alih, aparat negara justeru menangkap dan menghukum mereka yang
dituduh sesat atau dalam hal ini, korban.
Dengan
ilustrasi di atas hendak dikatakan bahwa dalam berbagai aksi kekerasan
tersebut terdapat setidaknya tiga dimensi. Yaitu, dimensi agama yang
diperankan oleh organisasi keagamaan seperti MUI dan ormas Islam yang
menjadi salah satu aktor penting dalam membentuk perspesi masyarakat;
dimensi negara yang diperankan oleh aparat keamanan dan hukum yang tidak
mampu memberikan keamanan dan perlindungan kepada korban; dan dimensi civil society
yang diperankan para pelaku kekerasan yang secara sosial semestinya
memiliki batas-batas solidaritas dan toleransi tertentu yang dibutuhkan.
Jika masing-masing hal tersebut diluaskan dimensinya maka, aparat
negara bisa diikutkan di dalamnya berbagai aturan dan perundang-undangan
yang tidak mendukung atau bahkan cenderung bertentangan dengan
Konstitusi negara dan mengancam harmoni antar kelompok masyarakat dalam
Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika.
Dimensi agama dalam realitasnya juga menyangkut berbagai ajaran dan metode dakwah yang cenderung black campaign
atas agama dan kelompok lain, termasuk di dalamnya materi dan kirukulum
pendidikan keagamaan. Hal ini sungguh-sungguh dirasakan tidak membantu
terbangunnya sebuah etika dan tatanan sosial yang kondusif bagi
terjaganya pluralitas dan ke-bhinneka-an yang menjadi ciri utama bangsa
Indonesia dan tonggak penting bagi terbangunnya masyarakat dan negara
Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
Sedangkan dimensi civil society
tercakup di dalamnya terbangunnya berbagai kelompok anti pluralis dan
fundamentalis dengan klaim kelompoknya paling benar dan karena itu boleh
melenyapkan pihak lain, baik oleh dirinya maupun berupa desakan
terhadap pemerintah.
Artinya pula, 10 tahun
reformasi Indonesia sejak jatuhnya rezim Orde Baru, masih menyisakan
suatu situasi yang mungkin saja berbalik (set back) jika hal
demikian tidak bisa diatasi oleh pemerintah melalui penegakan hukum,
toleransi beragama yang diperlukan serta terbangunnya solidaritas yang
dibutuhkan dalam suatu masyarakat yang dewasa. Prosedur demokrasi yang
nyaris sepenuhnya liberal di Indonesia seperti multipartai dalam pemilu
yang relatif bebas (UU tentang Partai Politik No. 31/Th. 2004, sedang
diperbaharui di parlemen untuk Pemilu 2009) dan pemilihan langsung
presiden serta kepala daerah (UU tentang Pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden No. 23/Th. 2003), serta desentralisasi atau otonomi daerah (UU
No. 25 th. 2004 dan kemudian diperbaharui UU No. 32 Th. 2004))
menyisakan problem sosial yang besar berupa belum terbangunnya kultur
demokrasi yang lebih kokoh.
Kerangka TinjauanPluralisme
dalam definisinya yang komprehensif bisa ditunjukkan seperti oleh
Merriam-Webster bahwa pluralisme adalah “a state of society in which
members of diverse ethnic, racial, religious, or social groups maintain
an autonomous participation in and development of their traditional
culture or special interest within the confines of a common
civilization.” Dengan demikian, pluralisme bisa tidak hanya menyangkut
agama melainkan etnisitas, kelompok sosial dan ras. Dengan kata lain,
dengan menyebut pluralisme bisa dicakup di dalamnya multikulturalisme
dan aspek-aspek lain.
Namun, definisi demikian
perlu segera diberi catatan bahwa kata pluralisme harus tidak diletakkan
sebagai kata benda yang statis, dimana seolah situasi seperti itu
tercipta secara given dan dengan sendirinya, melainkan definisi
demikian musti dipahami sebagai kata kerja. Yakni, bisa diuraiakan
bahwa pluralisme sebagai suatu usaha untuk menciptakan situasi demikian.
Diletakkan dalam kerangka demokrasi, maka pluralisme sesungguhnya
menjadi bagian terpenting dan menentukan dalam proses demokratisasi.
Tanpa pluralisme, artinya terciptanya situasi demikian, bisa dikatakan
demokrasi tidak akan pernah terjadi.
Dengan
demikian pula, betapapun secara prosedural Indonesia kini sudah demikian
jauh, bahkan mungkin melampaui apa yang dipersyaratkan oleh demokrasi
liberal sekali pun, jika kondisi pluralisme tidak tercipta, maka
demokrasi prosedural tidak berimplikasi apa-apa atas kehidupan
masyarakat yang lebih dewasa dan sejahtera. Pluralisme mungkin bisa
disetarakan dengan adil atau terciptanya keadilan dalam ekonomi dan
kesejahteraan. Betapapun demokratisnya dalam prosedur politik, tak
memiliki implikasi apa-apa tanpa adanya peningkatan kesejahteraan rakyat
dan terciptanya keadilan dalam kehidupan ekonomi dan kesetaraan dalam
hukum serta kesempatan kerja, misalnya.
Mengikuti
refleksi dari Bob Hefner atas perkembangan peran kelompok-kelompok Islam
atas demokratisasi di Indonesia tahun 19990an, umpamanya, dikatakan
bahwa “Democracy requires a noncoercive culture that encourages
citizens to respect the rights of others as well as to cherish their
own. This public culture depends on mediating institutions in which
citizens develop habits of free speech, participation, dan toleration
(Hefner, 2000:13). Dengan kata lain pula, jaminan untuk kebebasan
beragama dan berekspresi, seharusnya lebih tinggi dari sebelumnya, baik
jaminan hukum dan politik oleh pemerintah maupun toleransi dan
solidaritas dari masyarakat.
Tulisan ini akan
mencoba melihat perkembangan paska reformasi terhadap tiga dimensi
tersebut, bagaimanakah kenyataan pluralisme atau kebebasan beragama pada
umumnya dan apa tantangan-tantangan ke depan. Di akhir tulisan akan
coba ditelusuri sejumlah kelompok atau komunitas yang berperan sebagai,
apa yang oleh Hefner disebut, “mediating institutions,” untuk
mengantar masa depan tersebut. Dan pada akhirnya diperlukan penilaian,
sejauhmana kelompok dan komunitas tersebut mampu memerankannya.
Konstitusi dan Hukum dalam Teori dan Praktik
Dari perspektif konstitusi-tekstual, mungkin boleh dikatakan, seperti juga dalam prosedur demokrasi, Indonesia menuju sempurna dalam jaminan kebebasan beragama dan berekspresi. Lebih dari itu mungkin bisa diekplisitkan bahwa eksistensi negara Indonesia telah mendekati karakter negara sekular yang tidak memihak salah satu agama tertentu dan memberikan jaminan bagi semua agama dan kepercayaan. Ini bisa dilihat dari substansi dan pasal-pasal dalam konstitusi UU 1945 –amandemen--, misalnya pasal 28 ayat e yang secara eksplisit menjamin warga negara untuk memeluk agama dan keyakinan tanpa batasan; adanya ratifikasi ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) melalui UU No. 12 Tahun 2005; serta UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. S emua itu memberi jaminan kepada warga negara tanpa pandang bulu dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta berekspresi. Dan yang jauh lebih penting lagi bahwa semua UU tersebut menugaskan kepada negara terutama pemerintah untuk melaksanakannya, tidak lupa ditimpali dengan sangsi jika pemerintah tidak melakukannya.
Dari perspektif konstitusi-tekstual, mungkin boleh dikatakan, seperti juga dalam prosedur demokrasi, Indonesia menuju sempurna dalam jaminan kebebasan beragama dan berekspresi. Lebih dari itu mungkin bisa diekplisitkan bahwa eksistensi negara Indonesia telah mendekati karakter negara sekular yang tidak memihak salah satu agama tertentu dan memberikan jaminan bagi semua agama dan kepercayaan. Ini bisa dilihat dari substansi dan pasal-pasal dalam konstitusi UU 1945 –amandemen--, misalnya pasal 28 ayat e yang secara eksplisit menjamin warga negara untuk memeluk agama dan keyakinan tanpa batasan; adanya ratifikasi ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) melalui UU No. 12 Tahun 2005; serta UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. S emua itu memberi jaminan kepada warga negara tanpa pandang bulu dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta berekspresi. Dan yang jauh lebih penting lagi bahwa semua UU tersebut menugaskan kepada negara terutama pemerintah untuk melaksanakannya, tidak lupa ditimpali dengan sangsi jika pemerintah tidak melakukannya.
Namun,
konstitusi yang bersifat tekstual itu ternyata jauh dari jaminan riil
dalam masyarakat. Dalam konteks hukum, ada dua masalah mendasar, belum
dalam praktiknya. Pertama, bahwa masih banyak perundang-undangan dan
aturan yang bisa mengeliminir dan bahkan bertentangan dengan
jaminan-jaminan konstitusional tersebut yang ada sebelumnya, namun tidak
gugur dengan sendirinya dengan lahirnya penyempurnaan konstitusi
tersebut. Salah satu masalah yang nyata menjadi halangan bagi penegakan
kebebasan beragama adalah pasal 156a KUHP yang merupakan realisasi dari
UU PNPS No. 1/1965. Yaitu larangan seseorang atau sekelompok orang untuk
mempraktikkan dan menafsirkan keyakinan yang menyimpang dari agama
utama, berupa enam agama, yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha
dan Kong Hu Chu, atau pasal tersebut populer disebut pasal “penodaan
agama.”(Rumadi dkk., 2007)
Kedua adalah penyusunan
dan berbagai draf aturan atau perundang-undangan baru yang sengaja
maupun tidak bertabrakan dengan pasal dan prinsip dari penyempurnaan
konstitusi tersebut. Salah satu contoh paling menyolok adalah
pasal-pasal dalam RKUHP dalam masalah agama. Pasal tentang “penodaan
agama” yang dalam KUHP hanya satu pasal 156a, yang selama masa reformasi
telah “memakan” banyak korban, dirinci lebih jauh menjadi 8 pasal dalam
RKUHP yang dari perspektif kebebasan beragama, praktis sebagian besar
bertentangan dengan prinsip dalam konstitusi tersebut (Rumadi dkk.,
2007). Ini belum termasuk masuknya berbagai pasal anti pluralisme dalam
berbagai UU dan RUU, seperti pasal tentang “agama yang diakui” dalam UU
Kewarganegaan dengan serta merta mengabaikan kepercayaan dan keyakinan
non-agama resmi seperti aliran kepercayaan (dalam konteks Indonesia)
atau indgenous bilief; pasal-pasal dalam draf RUU anti Pornografi,
antara lain dengan mendefinisikan porno sebagai jenis pakaian perempuan;
Kesehatan, yang melarang transfusi darah orang lain berbeda agama;
serta Waris, larangan mewariskan orang berbeda agama meskipun hubungan
orang tua-anak; dan sebagainya.
Dalam
praktik hukum juga tidak kalah kontradiksinya dengan prinsip-prinsip
konstitusi. Berbagai kasus tuduhan penodaan agama melalui pasal 156a
KUHP, diterapkan kepada orang atau sekelompok orang yang dituduh sebagai
menodai agama oleh sekelompok lain yang secara sosial dan politik lebih
kuat. Namun yang lebih mengenaskan adalah bahwa, pengadilan selalu
mengikuti tuntutan kalangan yang kuat ini yang melakukan apa saja
termasuk demonstrasi, intimidasi dan kekerasan untuk mempengaruhi
keputusan pengadilan, ketimbang mencoba menegakkan rasa keadilan
masyarakat dan secara obyektif menegakkan konstitusi tentang kebebasan
beragama dan berkeyakinan. Jika arah demikian diparalelkan dengan
fenomena munculnya berbagai RUU termasuk di dalamnya RKUHP yang dalam
pasal-pasalnya terdapat berbagai kontradiksi dengan konstitusi tentang
kebebasan beragama dan berkeyakinan, maka pesimislah yang muncul akan
masa depan Indonesia.
Perda Bernuansa AgamaParalel
pula dengan perkembangan hukum, maka munculnya berbagai Peraturan
Daerah (Perda) yang bernuasa agama atau di Aceh disebut “Kanun”, perlu
diberi catatan tersendiri. Secara kuantitatif, Robin Bush (2007) telah
menghitung maraknya Perda yang bernuansa agama (khususnya Islam)
akhir-akhir ini, mislanya, berjumlah sekitar 78 Perda, di 52 Kabupaten
dan Kota, belum termasuk SK Bupati, Walikota dan Gubernur dan draf yang
belum diputus oleh DPRD. Maka, jika pertumbuhan itu terus berlanjut, mau
tidak mau memang mungkin akan memengaruhi arah perkembangan hukum
nasional atau bahkan konstitusi. Keputusan Mahkamah Agung (MA) yang
menolak Judicial Review atas Perda Tangerang (Nurun Nisa dkk.,
2007) tentang anti prostitusi yang diskriminatif terhadap perempuan
dengan alasan bukan ruang lingkup MA, telah menimbulkan kehawatiran
lebih besar tentang perkembangan tersebut.
Meskipun
tidak semua munculnya Perda-perda tersebut selalu dimotivasi oleh
dorongan agama melainkan juga disebabkan karena pragmatisme politik dan
merupakan outlet bagi mereka yang terdesak oleh tunutan hukum seperti korupsi, dan sebagian lagi berkat kian canggihnya mesin fotocopy,
namun perkembangan yang menyerupai deret ukur dan cenderung menyebar di
berbagai daerah patut menjadikan waspada. Meski demikian semua fenomena
itu tidak perlu digeneralisir. Dalam analisis keseluruhan Perda-perda
tersebut bisa dibagi dalam tiga kategori. Pertama, Perda-perda yang
berkaitan dengan isu keprihatinan publik (public order) atau
pengaturan moral masyarakat seperti perda tentang anti perjudian, anti
prostitusi dan anti minuman keras. Sesungguhnya isu demikian bukan hanya
menjadi keprihatinan dan komitmen orang beragama tertentu melainkan
hampir semua orang dengan motivasi masing-masing.
Kedua,
aturan-aturan yang berkaitan dengan keterampilan beragama dan kewajiban
ritual keagamaan. Ini seperti aturan tentang kewajiban bisa baca
Al-Qur’an, membayar zakat dan sebagainya. Aturan ini spesifik ditujukan
untuk orang-orang Islam, namun tetap berpotensi diskriminatif terhadap
orang Islam sendiri maupun terhadap orang lain. Sedangkan ketiga, adalah
aturan yang berkaitan dengan simbol-simbol keagamaan seperti kewajiban
memakai jilbab bagi perempuan dan baju koko bagi laki-laki di hari
Jumat. Aturan terakhir ini, pada praktiknya sering menimbulkan
diskriminatif baik dalam pelayanan publik oleh pemerintah maupun di
kalangan masyarakat sendiri. Bukan hanya kepada orang non-Muslim
melainkan bahkan diskriminatif terhadap kalangan Islam sendiri (Suaedy
dkk., 2007).
Dengan kenyataan demikian memang
tidak semua Perda-perda itu layak diangkat pada tingkat konstitusi
melainkan harus dilihat dalam beberapa level sehingga responnya menjadi
proporsional. Pertama-tama, perlu terlebih dahulu diberi ukuran
paradigmatik dan substansi tentang perda-perda atau aturan-aturan
tersebut dengan argumen yang memadahi. Misalnya, dasar negara Pancasila
dan UUD 1945 dengan segala amandemannya adalah ukuran utama, sedangkan
prinsip-prinsip hak asasi manusia harus pula ikut mendukungnya. Dalam
aturan-aturan yang dikategorikan sebagai public order atau
keprihatinan umum seperti perjudian, prostitusi dan minuman keras sangat
sulit untuk direspon ke tingkat substansi dan paradigamtik seperti itu,
karena ia menjadi keprihatinan dan komitmen bersama masyarakat.
Yang
harus dilakukan terhadap aturan semacam ini adalah pemantauan atas
tujuan dan langkah-langkah penerapannya, misalnya pelarangan yang tanpa
jalan keluar sehingga menimbulkan pengangguran massal dan penderitaan.
Juga cara-cara penegakannya (enforcement), misalnya menggunakan
cara-cara kekerasan dan kriminalisasi yang berlebihan serta
diskriminatif. Dengan demikian advokasi yang dilakukan pun akan lebih
memenuhi sasaran. Tanpa ada ukuran yang nyata dan respon yang terukur
seperti itu dikuatirkan akan terjadi perdebatan yang tanpa ujung
pangkal.
Ukuran berikutnya adalah prosedur
pembuatan dan landasan atau konsideran dari aturan-aturan tersebut.
Salah satu ukuran penting dalam hal ini adalah UU no. 10 tahun 2004
tentang prosedur pembuatan perundang-undangan, termasuk di dalamnya
Perda dan aturan lainnya. Konsistensi konsideran yang mendasari
aturan-aturan tersebut penting untuk diuji dengan landasan hukum yang
berlaku di Indonesia. Ini penting mengingat, ada beberapa Perda yang
diduga kuat hanya merupakan fotocopy dari daerah lain sehingga
mengabaikan partisipasi masyarakat yang penuh sebagaimana diatur dalam
UU tersebut dan niat baik tentang usaha menyelesaikan masalah sosial di
daerah itu.
Di samping itu, juga ada beberapa
aturan seperti SK Bupati dan Walikota yang mendasarkan, misalnya, pada
Fatwa MUI atau pendapat sekelompok orang dengan mengabaikan landasan
hukum yang ada. Dengan ukuran demikian, usaha untuk melakukan advokasi
akan terfokus pada kesalahan dan penyimpangan aturan itu tanpa harus
mengangkatnya terlalu tinggi pada level konstitusi, misalnya. Namun,
yang paling berbahaya dari semua itu adalah campur tangan pemerintah
atas penilaian salah atau benar dan sesuai atau sesat atas kepercayaan,
keyakinan dan agama tertentu, seperti diperankan Bakor-Pakem (Badan
Koordinasi-Pengawasan Agama dan Kepercayaan dalam Masyarakat) yang
dikordinasi oleh Kejaksaan (MRORI-The Wahid Institute, No. 6).
Ukuran
berikutnya adalah konteks politik lokal. Jika memang terbukti bahwa
Perda atau aturan sejenis benar- benar hanya komoditi politik seorang
politisi untuk tujuan meraih jabatan tertentu, advokasi bisa difokuskan
pada komoditifikasi politik tersebut. Di Sulawesi Selatan baru-baru ini,
misalnya, terbukti bahwa “dagangan” Syari’ah Islam tidak memberikan
dampak signifikan bagi terpilihnya seorang pasangan Gubernur. Daerah
yang terkenal “maniak” Syari’ah Islam itu justeru memilih pasangan
Gubernur-Wakil Gubernur yang mengusung visi pluralisme dan toleransi.
Terkadang
masalah politik memang menjadi masalah besar dan ini menuntut
keberanian dan visioner dari para pemegang pemerintahan di pusat. Tetapi
kenyatannya itu tidak dilakukan. Secara teoritik, SK-SK Bupati,
Wakilkota dan Gubernur yang secara hukum tidak prosedural,
misalnyadengan mendasarkan pada fatwa MUI, dan juga Perda-perda yang
menyimpang seharusnya cukup dibatalkan oleh Mendagri. Tetapi karena isu
itu bersifat sensitif dan kandungan politiknya tinggi maka pemerintah
lebih memilih diam, kuatir dengan reaksi politik yang akan menjatuhkan
kepercayaan masyarakat. Dengan demikian, yang dibutuhkan adalah
keberanian pemerintah untuk mengambil resiko politik untuk meluruskan
penyimpangan yang terjadi (Suaedy, 2006).
Agama Privat dan Agama PublikSekali
lagi, penegasan konstitusi akan jaminan kebebasan beragama dan
berkeyakinan mendapatkan gangguan serius dari makin menguatnya
kelompok-kelompok agama dalam merespon perkembangan masyarakat dan
kebijakan pemerintah namun bukan dalam kerangka memperkuat demokrasi
seperti pemberantasan korupsi dan kolusi, melainkan sebaliknya
memperkukuh primordialisme berdasarkan kelompok keagamaan dan kesamaan
keyakinan. Bagi Ormas-ormas Islam, di era dimana orang bisa berbicara
apa saja dan pemerintah tidak memiliki pilihan lain kecuali mendengar
tuntutan mereka yang bersuara keras, apalagi dengan membawa-bawa atas
nama agama atau kelompok agama tertentu, maka penyimpangan
prinsip-prinsip demokrasi dan hukum makin menjadi mungkin.
Situasi
ini ditimpali dengan masih hijau pengalaman demokrasi dalam mengelola
aspirasi masyarakat terutama bagi para pemimpin dan kepala daerah. Tidak
mengherankan jika suatu pemerintahan, tidak hanya di daerah melainkan
juga di pusat, bukan hanya eksekutif melainkan juga legislatif dan
judikatif, lebih mendengarkan dan mengutamakan tunaian tuntutan mereka
yang bersuara keras meskipun kecil jumlahnya, ketimbang menunaikan
keadilan bagi mereka yang berjumlah besar namun diam (silent majority).
Dengan demikian, menguatnya pengaruh kelompok agama ini seiring belaka
dengan menebalnya kendala bagi tegaknya demokrasi dan hukum.
Menguatnya
peran MUI dalam hal ini patut mendapatkan sorotan khusus. Kevokalan MUI
dalam menyuarakan berbagai pandangan dan tuntutannya juga paralel
dengan kecenderungan ini. Yang membuat MUI lebih kuat dari ormas
keagaman umumnya adalah karena keterkaitan lembaga agama bikinan
diktator Orde Baru Soeharto ini dengan pemerintah. Karena sejak awal
didirikannya diniatkan sebagai instrumen pemerintah otoriter untuk
menyangga kekuasaan dan menaklukkan gerakan keagamaan anti pemerintah,
maka ia memiliki fasilitas yang sangat besar. Ia, misalnya, memiliki
cabang di seluruh Indonesia, secara formal dari kabupaten hingga
provinsi dan pusat dan memiliki struktur informal di tingkat kecamatan.
Seluruh
struktur tersebut mendapatkan biaya dari pemerintah. Sementara di pihak
lain, MUI bisa mencari dana tambahan dari proyek-proyek keagamaan yang
diciptakannya tanpa harus dikontrol oleh pemerintah dan publik, seperti
dari sumber proyek labelisasi halal untuk makanan, kedudukannya yang
penting dalam Bank Syari’ah di seluruh perbankan yang membuka gerai
Syari’ah, serta proyek-proyek politik tertentu dari pemerintah seperti
sosialisasi RUU tertentu yang berkaitan dengan isu agama (Suaedy dkk.,
2006).
Di lain pihak, sistem keanggotaan MUI tidak
bersifat individual melainkan ormas-ormas Islam yang ada. Sehingga
ormas Islam apapun yang doktrin dan akidahnya sesuai dengan penilaian
MUI, maka bisa bergabung. Akibatnya MUI seolah memiliki hak prerogatif
untuk menentukan sah dan tidak, sesuai dan sesatnya suatu keyakinan
untuk menjadi anggota. Ahmadiyah, misalnya, karena dianggap menyimpang
bukan saja tidak bisa menjadi anggota MUI melainkan MUI mendesak
pemerintah untuk melarangnya (MRRI-WI No. 4). Sementara
betapapun subversifnya secara politik, jika MUI menilai tidak ada
penyimpangan secara akidah akan diakomodasi.
Contoh
paling nyata adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Dalam doktrinnya,
HTI menyatakan sebagai organisasi politik yang anti demokrasi atau dalam
bahasa agama meng-haram-kan demokrasi. Dengan demikian, dari
sudut manapun HTI anti Pancasila dan UUD 45 sebagai landasan filosofi
dan konstitusi Indonesia, namun keberadaanya diakomodasi oleh MUI, dan
bahkan anggota HTI menggurita di dalam struktur MUI dari pusat sampai
daerah (Suaedy dkk., 2006). Tidak bisa dibayangkan jika suatu saat HTI
menjadi besar dan hampir pasti akan berhadapan dengan eksistensi
Indonesia sebagai negara nasional.
Sistem
keanggotaan MUI yang demikian juga memungkinkan produk-produk dan fatwa
yang dikeluarkannya cenderung konservatif dan mengikuti arus radikal
Islam. Ini disebabkan karena ormas-ormas Islam yang moderat tidak
terlalu banyak meskipun dihitung dari jumlah anggotanya sangat besar.
Sementara dalam persidangan dan pengambilan keputusan setiap anggota MUI
yang berupa ormas mendapatkan representasi atau wakil yang sama.
Bertapapun besarnya jumlah anggota Muhammadiyah dan NU hingga 20 sampai
30an juta anggota karena satu organisasi hanya akan mendapatkan
representasi yang sama dengan FPI (Fron Pembela Islam), HTI dan MMI
(Majelis Mujahidin Indonesia) yang mungkin memiliki hanya ratusan ribu
anggota. Di sisi lain, jumlah ormas Islam moderat tidak terlalu banyak
dibandingkan dengan ormas konservatif dan radikal yang tumbuh bagai
cendawan di musim hujan.
Akibat lanjutnya adalah
bahwa organisasi Islam dengan doktrin apapun, termasuk organisasi dan
gerakan fundamentalis yang anti demokrasi dan anti Pancasila sekali pun,
terkecuali yang secara nyata dicap sebagai teroris seperti Jamaah
Islamiyah (JI), bisa menjadi anggota MUI dan mendominasinya.
Dari kenyataan demikian, maka MUI sesungguhnya bisa dikatakan sebagai bungker
dari organisasi dan gerakan fundamentalis dan subversif di Indonesia.
Lebih dari itu, karena MUI dibiayai oleh pemerintah, maka organisasi dan
gerakan fundamentalis juga mendapatkan subsidi dari pemerintah melalui
MUI tersebut (Suaedy dkk., 2006).
Fenomena ini
menguat secara menyolok sejak pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono
(SBY) disebabkan, saya kira, karena SBY lebih dekat ke partai-partai
politik Islamis yang setia mendukungnya menjadi presiden seperti Partai
Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan PBB
(Partai Bulan Bintang). Terkecuali Partai Demokrat yang sekuler dimana
SBY menjadi salah seorang yang membidani kelahirannya, namun tidak
memiliki topangan intelektual yang cukup kuat, praktis SBY bertopang
pada kalangan Islamis.
Kaitan SBY dengan partai-partai Islamis yang secara hidden dan open
hendak menegakkan pendasaran negara pada Syari’ah Islam, diperkuat
dengan diangkatnya ketua dan juru bicara paling vokal MUI tentang anti
kebebasan beragama dan keyakinan, K.H. Ma’ruf Amin, sebagai anggota
Watimpres (Dewan Pertimbangan Presiden) bidang keagamaan.
Dengan demikian, cukup jelas kemana arah pandangan dan policy keagamaan, kebebasan beragama dan keyakinan, presiden SBY (Lihat Van Zorge,
January 29, 2008). Begitu gegap gempitanya penyesatan dan kekerasan
antar agama, hampir tidak pernah terdengar suara presiden tentang
keinginannya agar aparat negara lebih tegas dan adil terhadap pelaku
kekerasan agama serta keperpihakannya untuk melindungi para korban
penyesatan dan kekerasan. Juga tidak pernah terdengar suara presiden SBY
tentang keinginannya untuk menegakkan hak-hak asasi manusia dan
konstitusi dalam jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Sebaliknya,
presiden dalam suatu kesempatan membuka Rakernas MUI di bulan November
2007 justeru menunjukkan dukungannya secara eksplisit dan hendak
mengikuti semua keputusan MUI. Pada Rakernas tersebut MUI mengeluarkan
fatwa 10 kriteria aliran sesat sebagai pedoman masyarakat Muslim untuk
memantau secara mandiri aliran-aliran sesat. Akibatnya sudah jelas,
makin tak terkendalinya kekerasan antar agama yang cenderung liar (MRRI-WI No. 4).
Dengan
demikian konstitusi yang telah secara mapan menempatkan agama sebagai
masalah privat dan memberi kebebasan dan bahkan perlindungan tanpa
pandang bulu kepada semua warga negara dalam praktiknya, terjadi
sebaliknya. Negara dengan segala instrumennya di bawah pemerintahan SBY,
ikut campur sangat dalam, dalam soal-soal keagamaan dan keyakinan warga
negara (Van Zorge Report, January 29 th, 2008).
Kelompok Agama: Permanen dan Non-permanenTidak
diragukan lagi, betapa gigih dakwah dan perjuangan yang dilakukan oleh
kalangan konservatif dan fundamentalis untuk mengajak masyarakat
mengikuti ide dan gerakan, bukan hanya mereka yang beragama di luar
Islam dan mereka yang tidak beragama melainkan kepada umat Islam itu
sendiri. Mereka tampaknya juga melakukan dengan segala cara bukan hanya
mengajak secara sukarela tetapi berusaha keras agar negara dan
pemerintah berpihak dan mengikuti jejak mereka. Mereka misalnya secara
gerilya mendatangi tokoh-tokoh agama lokal yang kharismatis dan memiliki
banyak pengikut untuk mendukung dan mengikuti jejak mereka, kalau perlu
diberi kedudukan yang tinggi dalam organisasi tersebut meskipun bukan
yang menentukan. Sehingga tidak heran jika cukup banyak tokoh-tokoh
agama lokal yang selama ini cenderung moderat dan tergabung dalam
organisasi moderat, tiba-tiba menjadi pendukung dan tidak jarang menjadi
juru bicara mereka.
Kelompok ini juga tidak tabu
untuk masuk dalam segala lini dalam birokrasi pemerintah dan menjadi
bagian dalam organisasi semi pemerintah seperti MUI. Jika dimungkinkan
mereka merintis inisiatif berbagai aturan dan program untuk bisa akses
dan menyedot dana APBN dan APBD untuk memperkuat perjuangan mereka,
termasuk di dalamnya inisitaif Perda dan aturan lain untuk mengeluarkan
dana-dana publik tersebut. Contoh yang jelas adalah, Perda tentang
kewajiban bisa baca Al-Qur’an bagi pegawai negeri yang hendak naik
pangkat dan pelajar yang ingin masuk jenjang pendidikan lebih tinggi
dari sebelumnya.
Tidak hanya terbatas
pada itu, untuk menunjukkan dominasinya mereka menciptakan
kelompok-kelompok baru untuk melakukan intimidasi dan peyerangan jika
perlu, yaitu semacam aliansi organisasi-organisasi kelompok radikal dan
fundamentalis untuk kebutunan tertentu. FUUI (Forum Ulama Umat Islam) di
Jawa Barat, misalnya, di samping melakukan berbagai intimidasi dan
kekerasan juga pernah mengeluarkan fatwa hukuman mati secara Islam bagi
Ulil Abshar Abdalla, koordinator dan tokoh dalam Jaringan Islam Liberal
(JIL). GUII (Gerakan Umat Islam Indonesia) di Bogor juga pernah
melakukan penyerangan terhadap komunitas Ahmadiyah di Parung dan Bogor.
Sementara FUIY (Forum Umat Islam Yogyakarta) berusaha keras untuk
mengordinir kelompok-kelompok Islam di Yogyakarta untuk menuntut
legislasi Syari’ah Islam di wilayah kerajaan itu.
Semua
gejala tersebut belum termasuk kelompok-kelompok yang secara permanen
dan spontan terbentuk untuk tujuan tertentu seperti merazia tempat
hiburan seperti bar dan diskotik, hotel dan sebagainya dengan dalih
menegakkan moral Islam, serta tidak jarang mengintimidasi dan memeras
tempat ibadah non-Islam untuk menarik pajak tak resmi kepada mereka.
Ketidakpedulian pemerintah terhadap gejala premanisme agama ini
menjadikan masyarakat apatis, dan memilih diam ketika terjadi peristiwa
tersebut ketimbang mencoba menegakkan solidaritas dan etika hidup
bersama.
Arus Balik: Di Persimpangan JalanCerita
panjang menguatnya arus utama anti pluralisme tidak mengabaikan adanya
arus balik yang menantang gerakan tersebut. Dalam laporan riset saya
tentang sebuah riset Gerakan Muslim Progresif (GMP), sesungguhnya
gerakan tersebut memiliki potensi sangat besar. Mereka juga tidak kalah
gigih dan tersebar di semua daerah bahkan sampai ke pelosok dimana ada
perguruan tinggi atau pesantren (Islamic Boarding School). Tiga tema
utama dan satu tema bersifat lintas umumnya diusung oleh mereka, yaitu
pluralisme, kesetaraan gender dan keadilan dan satunya lagi bersifat
lintas bukan hanya diusung oleh kalangan GMP tetapi juga kalangan
sekuler dan fundamentalis, yaitu tema seperti korupsi, budget pro-poor
dan sebagainya.
Dalam GMP tersebut, meskipun tidak semua
mengusung tiga tema utama dalam waktu bersamaan tetapi mereka umumnya
memiliki perspektif yang tuntas tentang masing-masing isu. Maksudnya,
sebuah kelompok atau NGO yang mengusung tema pluralisme di dalamnya
terkandung perspektif kesetaraan gender dan keadilan, dan sebaliknya.
Mereka juga memiliki jaringan informasi dan advokasi yang cukup kuat dan
responsif. Mereka memiliki berbagai mailing lists untuk tujuan komunikasi dan penyebaran informasi, namun yang paling konsisten dan efektif adalah advokasi-kub@yahoogroups.com yang sejak tahun 2001an hingga kini masih hidup dan efektif (Suaedy, 2007a).
Namun berbeda dengan kalangan konservatif dan fundamentalis yang lebih terpusat dan cenderung menghalakan segala cara, termasuk black campaign,
intimidasi dan kekerasan, GMP cenderung terdesentralisasi, anti
kekerasan dan cenderung menggunakan bahasa yang terukur. Pada isu atau
kasus tertentu, suatu NGO bisa berada di pusat atau menjadi koordinator,
tetapi pada saat yang lain bisa menjadi hanya partisipan atau
pendukung. Itu semua tergantung wilayah kasus, keterkaitan dengan
program kelompok atau NGO itu, dan ketersediaan waktu dan dana yang
dibutuhkan. Namun mereka share dalam informasi, jaringan dan bahkan pendanaan dan SDM.
Riset
saya tersebut menemukan dua pilar utama dalam GMP ini. Yaitu kelompok
kerja bisa berupa kelompok diskusi, NGO, dosen PT, dan peneliti yang
bisa bekerja secara sistematis dan membangun program berjangka secara
terukur, serta pencapaian secara bertahap, dan bahkan mendatangkan
sumber dana meskipun belum tentu mencukupi. Namun kelemahan mereka
adalah mobilisasi local resources baik berupa dukungan dan
dana. Di lain pihak ada tiang berupa tokoh agama lokal, terutama kiai.
Kiai lokal yang memiliki berspektif GMP, bahkan seringkali menjadi juru
bicara utama untuk memberikan pemahaman kepada grassroots tentang paham
yang dikembangkan. Mereka memang tidak bisa bekerja sistematis seperti
kelompok pertama, tetapi mereka sangat efektif untuk memobilisasi
dukungan lokal, dan bahkan sumber dana lokal. Seorang kiai bisa
berbicara (pengajian) di empat sampai lima tempat dalam sehari, dan
masing-masing event bisa diikuti ratusan sampai ribuan audiens. Betapa
besarnya peran tokoh agama lokal ini dalam mendesiminasi gagasan dan
dukungan tersebut.
Namun tampaknya mereka masih
ragu, untuk tidak dikatakan belum memiliki kemampuan, untuk
mengombinasikan antara gagasan dan dukungan dengan agenda perubahan
politik praktis, policy, dan mobilisasi dana publik. Jarang
sekali kelompok ini melahirkan sebuah peraturan atau perundangan yang di
satu pihak ditujukan untuk mengimplementasikan dan melindungi gagasan
tersebut, tetapi di lain pihak mampu memobilisasi dana publik semisal
dari APBN dan APBD untuk memperkuat terealisasinya agenda-agenda mereka
(Suaedy, 2007b). Jadinya mereka hanya berputar di sekitar pelatihan,
penyadaran dan pendidikan belum banyak menyentuh perubahan perundangan, policy dan kepemimpinan politik secara langsung.
Pada
waktunya, GMP harus bergerak maju mengambil posisi sentral dalam
perubahan. Sebagai contoh tiga partai utama yang mengusung nasionalisme
dan nasionalis-Islam adalah kuat, yaitu PDI-P (Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan) yang nasionalis-sekuler dan PKB (Partai Kabngkitan
Bangsa) serta PAN (Partai Amanat Nasional) yang keduanya
Islam-nasionalis. Namun aktor dan kelompok GMP tampaknya belum secara
langsung mampu membangun sinergi untuk tujuan realisasi agenda bersama.
Berbeda misalnya dengan PKS-PPP-PBB dengan kalangan
konservatif-fundamentalis dengan menjadikan PD sebagai kuda tunggangan
disebabkan karena kedekatannya dengan SBY yang kebetulan sedang menjabat
presiden. Sementara Partai Golkar cenderung pragmatis, karena bisa
berbeda wajah dan orientasi disebabkan karena perbedaan waktu dan
tempat.
PenutupPluralisme
sebagai salah satu tiang utama demokrasi belum menggembirakan dalam
rentang 10 tahun reformasi Indonesia. Di satu pihak adanya kenyataan
bahwa presiden yang berkuasa SBY cenderung dekat dengan partai-partai
Islamis yang membuatnya tidak mampu bersikap tegas terhadap
kecenderungan konservatifme yang berlebihan dan bahkan intimidasi dan
kekerasan. Kenyataan ini berimplikasi bukan hanya pada pemerintah pusat
melainkan membentuk sikap yang lebih ekstrim di kalangan pejabat dan
politisi daerah. Jika di pusat hanya membiarkan terjadinya gejala
tersebut, seringkali di daerah ikut menginisasi dan mendukung terjadinya
hal tersebut. Semua fenomena tersebut mengaburkan dan bahkan mengancam
konstitusi yang cukup tegas dan jelas akan karakter Indonesia sebagai
negara Bhinneka Tunggal Ika dan memberi jaminan penuh terhadap kebebasan
beragama dan berkeyakinan tanpa pandang bulu.
Jika
hal demikian dibiarkan terus bukan tidak mungkin, kombinasi antara
agresivitas dalam gerakan Islam fundamentalis dan konservatif dan
penggerogotan melalui aturan-aturan yang sesungguhnya bertentangan
dengan konstitusi, berlanjut pada set back, dalam praktik
politik maupun terhadap perubahan konstitusi itu sendiri. Demokrasi di
Indonesia, dengan demikian, sampai rentang 10 tahun sekarang ini, masih
menyisakan lubang bagi terperosoknya negara berpenduduk Muslim terbesar
di dunia ini menjadi otoritarianisme berbasis agama. Ini jauh lebih
mengkhawatirkan ketimbang otoritariansime yang hanya berbasis militer,
karena agama bisa juga menjadi landasan bagi kembalinya militerisme ke
tampuk kekuasaan, seperti pengalaman yang melanda Pakistan.
Pemerintah
tidak ada jalan lain, kecuali memasang agenda secara konsisten untuk
mem-break down konstitusi yang ada dengan membatalkan berbagai
perundangan dan aturan yang ada sebelumnya yang bertentangan dengannya,
dan menghindari adanya aturan-aturan baru yang bertentangan dengan
konstitusi. Dalam waktu yang sama pemerintah dituntut untuk lebih tegas
menegakkan hukum dan memperlakukan warga negara secara sama di depan
hukum. Di situlah kunci sesungguhnya dari tegaknya kebebasan beragama
dan berkeyakinan dan dengan demikian terjamin berlakunya demokrasi yang
tidak hanya prosedural melainkan ditopang oleh budaya dan lingkungan
demokrasi yang kuat. Dengan demikian pula cita-cita masyarakat yang adil
dan makmur akan tercapai secara substansial.
Sebagai
seorang yang terlibat di dalam gerakan GMP ini melalui keterlibatan
saya di the Wahid Institute, saya menganggap bahwa gerakan ini merupakan
kunci dalam menjaga masa depan Indonesia dan menjamin tegaknya
demokrasi melalui penjaminan dan perlindungan terhadap pluralisme.
Mereka yang tergabung dalam GMP yang menjadi salah satu elemen penting
dari gerakan demokrasi, haruslah membuka diri untuk terlibat lebih dalam
dalam politik keseharian dan membangun kultur dan aturan yang tangguh,
dengan tetap berpegang pada prinsip dan landasan yang kokoh. Tanpa
keterlibatan mereka yang lebih dalam isu-isu dan agenda politik
keseharian akan dibajak oleh gerakan sebaliknya, fundamentalisme dan
radikalisme. Saya sendiri tidak menutup kemungkinan untuk terlibat di
dalam politik keseharian, termasuk partai politik, untuk mendukung
tegaknya pluralisme. Dengan demikian, mobilisasi dukungan grassroots dan
dana local (local resources) lebih bisa dicapai dengan lebih
dekat. Harapan berikutnya adalah, pesimisme yang ada dengan maraknya
gerakan anti-pluralisme yang bersifat kombinasi, mendapatkan imbangannya
dalam diri GMP.
Ketelibatan saya di
dalam gerakan ini cukup dalam, mengingat sejak awal tahun 1990an, begitu
menyelesaikan S1 di IAIN Sunan Kalijaga, telah terlibat di dalam
gerakan seperti ini melalui Interfidei (Interfaith Diloague) di
Yogyakarta bersama dengan Dr. TH Sumartana (almarhum). Saya beruntung
ikut terlibat langsung gerakan ini, karena mendapat topangan yang sangat
kuat dari berbagai tokoh terkenal dan berpengaruh di Inodnesia ketika
itu seperti Gus Dur atau Abdurrahman Wahid; Romo Mangunwijaya
(almarhum); Djohan Effendi dan lainnya. Di bawah Orde Baru yang
otoriter, anak-anak muda ketika itu, termasuk saya, mendapatkan
perlindungan mereka dari kekejaman aparat Orde Baru. Namun, sebagai
sebuah gerakan awal yang jauh dari jangkauan negara, ketika itu memang
belum memiliki target-target terlalu jauh, misalnya ikut menentukan arah
negara, perundang-undangan dan menemparkan tokoh-tokoh pluralis di
dalam struktur politik negara. Kini saatnya, bagi penulis, gerakan GMP
menempatkan agenda penempatan tokoh pluralis di dalam struktur
kekuasaan, ikut menentukan perundang-undangan secara langsung, serta
memobilisasi gerakan masyarakat dan dana untuk tujuan penegakan
pluralisme itu sendiri, sebagai prioritas utama.***
Depok Indonesia, 31 Januari 2008
*Paper disampaikan pada Workshop Refleksi 10 Tahun Reformasi Indonesia
di Flinders University, Adelaide, Australia, 14 – 16 April 2008.
**Direktur eksekutif the Wahid Institute, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar