Ormas Islam radikal yang mengobarkan radikalisme dan kebencian dalam
melaksanakan syiar Islam; yang menebar kebencian baik kebencian pada
sesama pemeluk Islam maupun kepada pemeluk agama lain. Tudingan itu
tidak salah. Apa yang dipertontonkan tersebut merupakan pengulangan pada
zaman dahulu. Radikalisme bukanlah baru muncul di era 2000-an. Jauh
sebelum FPI merajalela, negeri ini sudah kenyang dengan radikalisme.
Sebenarnya radikalisme beragama itu bukan kali pertama ada di Indonesia.
Radikalisme yang melahirkan sikap intoleran itu telah menyejarah sejah zaman kolonial Belanda.
Di
zaman pra kemerdekaan itu di Solo telah ada laskar militan bernama
Tentara Kanjeng Nabi Muhammad (TKNM). Kelompok ini lahir dan dipicu oleh
semangat anti kristenisasi dan anti kaum abangan. Lahirnya TKNM dipicu
oleh artikel surat kabar di Surakarta, Djawi Hiswara pada edisi 11
Januari 1918. Harian yang dipimpin Martodharsono, anak didik Haji
Samanhudi (pelopor Sarekat Islam) dengan judul “Gusti Kandjeng Nabi
Rasoel minoem A.V.H. Gin dan kadang soeka mengisap opioem”. Artikel ini
dianggap menghina Islam.
Tjokroaminoto, pelopor Sarekat
Islam di Surabaya mendidih emosinya karena pemerintah Belanda yang
menguasai nusantara tidak berbuat apa pun untuk menindak media tersebut.
Padahal nyata-nyata media itu telah menistakan Muhammad, pembawa ajaran
Islam di muka bumi. Pemerintah kolonial Belanda yang kristiani itu
mengabaikan suara umat Islam yang tersinggung.
Jika media Djawi Hiswara ada di tahun 2012 ini sudah pasti kantor redaksi sudah jadi abu.
Tjokroaminoto,
guru politik dari pendiri bangsa yang kelak mewakili aliran
masing-masing yaitu Soekarno (nasionalisme), Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo (agama) dan Semaoen-Alimin (sosialisme) merasa cukup
beralasan tersinggung.
Penghinaan media Djawi Hiswara
itu sudah selevel dengan kaum quraish yang menghina, mengusir Muhammad
dari Mekah. Melihat kesesatan semacam ini, pemerintah diam seribu
bahasa.
Maka akhir Januari 1918, Tjokro mengajak pendiri
perkumpulan orang Arab, Al Irsyad di Subaraya, Haji Hasan Bin Semit
untuk membuat gerakan perlawanan dengan membuat wadah Tentara Kanjeng
Nabi Muhammad (TKNM) pada Februari 1918. Tagline kelompok
"mempertahankan kehormatan Islam, nabi, dan kaum muslim".
Duet
Tjokro dan Hasan memobilisasi dana dari ummat untuk membangun tentara
yang militan yang akan bergerak bila ada yang mengganggu Islam.
Keduanya berhasil mengumpulkan uang 3000 Gulden yang digunakan untuk
membentuk milisi Islam.
Dalam waktu singkat TKNM berhasil menggelar rapat umum (vergadering) di beberapa ko
ta
di Jawa dan Sumatra. Uang yang berhasil dikumpulkan pun makin
banyak. Aktivitas TKNM tak jauh dari mobilisasi massa, arak-arakan
manusia di jalan, pengumpulan duit. Jika pun mereka membuat pernyataan
sikap yang dikirim ke pemerintah, isinya tak segarang orasi di jalanan.
Haji
Misbach, saudagar batik dan tokoh SI Solo pun bergabung dalam TKNM dan
menjadi penyokong duit paling besar. Namun dalam perjalanannya, Haji
Misbach menganggap TKNM tak lebih organisasi untuk mencari popularitas,
hanya ramai karena arak-arakan sementara di internal kosong melompong.
TKNM,
menurut Misbach hanya sibuk bikin onar, bermesraan dengan pemerintah
kolonial seraya terus menerus menumpulkan duit. TKNM tak beda dengan
Djawi Hiswara yang menodai Islam. TKNM hanya sibuk memperdagangkan agama
dan bikin onar. Misbhach pun keluar dari TKNM dan membuat wadah baru
bernama Sidik Amanah Tableg Vatonah (SATV). Organisasi baru ini
dimaksudkan untuk lebih menggerakkan dan memajukan Islam. SATV
mengoreksi propaganda TKNM yang terjebak untuk anti Kristen dan anti
Abangan. TKNM sudah sering mengobarkan benih permusuhan pada Kristen
dan Abangan. Padahal seharusnya bukan dengan cara gelap mata.
Menurut
Misbach, musuh Islam bukan Kristen dan Abangan tapi kapitalis dan
kolonial. Kelak di kemudian hari Misbach menjadi tokoh muslim tulen yang
komunis sekaligus tokoh komunis tulen yang muslim. Haji Misbach
meluruskan pemahaman Islam yang salah. Ia tak sekadar merutuk tapi
bekerja. Pemahamannya yang mendalam tentang Islam membuat ia disegani.
Ia
teguh dalam berprinsip namun lentur dalam sikap. Tokoh besar ini
meninggal pada tanggal 24 Mei 1926 di pengasingan. Jasadnya dikuburkan
di kuburan Penindi Manokwari, di samping makam sang istri. Lebih lanjut
tentang Haji Miscbah silahkan baca buku: H.M Misbach: Kisah Haji Merah,
yang ditulis Nor Hiqmah. Warisan Radikalisme NIIPasca kemerdekaan,
radikalisme Islam juga dapat dibaca dengan kelahiran Negara Islam
Indonesia yang didirikan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.
Setelah
banyak berguru politik pada Tjokro dengan menjadi sekretaris pribadi,
selain aktif di Partai Syarikat Islam (PSI), Kartosoewirjo makin
semangat memperjuangkan gagasan negara Islam. Tapi karena kecewa PSI
ikut menuntut ke pemerintah Belanda agar mendirikan Indonesia Parlemen,
suatu lembaga dengan wakil rakyat yang berdaulat penuh, Kartosoewirjo
pun keluar dari PSI.
Ia menganggap kerja sama dengan
Belanda adalah sikap kompromi, meskipun bertujuan baik yaitu sebagai
tahapan kemerdekaan. Keluar dari PSI, Kartosoewirjo bersama Kiai Yusuf
Taujiri di Garut membuat Komite Pertahanan Kebenaran PSI. Sesudahnya ia
membangun lembaga pengkaderan yang diberi nama Institut Suffah. Nantinya
Suffah menjadi milisi Islam yang mendompleng program Jepang untuk
membangun milisi guna menghadapi agresi militer barat.
Suffah
inilah cikal bakal DI/ TII yang diproklamirkan 7 Agustus 1949. Seiring
perjalanan DI/TII yang memaksakan kehendak mendirikan negara Islam di
Indonesia dengan hukum Islam dan pemerintahan Islam, Kartosoewirjo
menjadi pemimpin Islam garis keras.
Keras bukan hanya
pada kelompok non muslim, namun juga kepada umat Islam lainnya yang
tidak mendukung NII. DI/TII mudah menuduh kafir pada ummat Islam lain.
Bahkan
dalam salah satu babak sejarah NII, Kartosoewirjo menyerang Pesantren
Cipari yang dipimpin Kiai Yusuf Taujiri. Penyerangan bukan cuma sekali,
tapi sampai 47 kali. Padahal Yusuf Taujiri adalah mentor agama
Kartosoewirjo. Yusuf pulalah yang membantu pendalaman agama
Kartosoewirjo yang sebelumnya tidak bisa berbahasa Arab dan kurang
mengenal lebih dalam ilmu Islam.
Pesantren Cipari
bahkan pernah digempur habis-habisan oleh 3000 tentara DI/ TII selama
delapan jam. Bangunan pesantren hancur, 11 warga pesantren mati, belasan
TII juga tewas. Sementara Kiai Yusuf selamat. Semua itu dilatari karena
Kartosoewirjo jengkel karena Kiai Yusuf, kiai tradisional itu, tidak
mendukung gagasannya mendirikan negara Islam di Indonesia. Lebih
lanjut soal NII bisa baca buku: NII Sampai JI.Salafy Jihadisme Di
Indonesia, yang ditulis Solahudin.
Front Pembela
Islam (FPI) dituding mengobarkan radikalisme dan kebencian dalam
melaksanakan syiar Islam. FPI menebar kebencian baik kebencian pada
sesama pemeluk Islam maupun kepada pemeluk agama lain. Tudingan itu
tidak salah. Apa yang dipertontonkan FPI merupakan pengulangan pada
zaman dahulu. Jika melacak pada sejarah, radikalisme bukanlah baru
muncul di era 2000-an. jadi, jauh sebelum FPI merajalela, negeri ini
sudah kenyang dengan radikalisme.
Moral cerita di atas
adalah kekerasan yang dijalankan kelompok radikal Islam itu sama sekali
tak mampu membuat Islam berkuasa di negeri ini, tidak juga menjadikan
negara ini jadi khilafah Islam. Justru kita rugi karena citra Islam
dirusak oleh orang dan kelompok yang berniaga agama. Kekerasan menafikan
karakter negara ini yang mengandalkan musyawarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar