PPC Iklan Blogger Indonesia

Rabu, 27 Agustus 2014

LINTASAN SEJARAH RADIKALISME ISLAM di INDONESIA

Ormas Islam radikal yang mengobarkan radikalisme dan kebencian dalam melaksanakan syiar Islam; yang menebar kebencian baik kebencian pada sesama pemeluk Islam maupun kepada pemeluk agama lain. Tudingan itu tidak salah. Apa yang dipertontonkan tersebut merupakan pengulangan pada zaman dahulu. Radikalisme bukanlah baru muncul di era 2000-an. Jauh sebelum FPI merajalela, negeri ini sudah kenyang dengan radikalisme.  

Sebenarnya radikalisme beragama itu bukan kali pertama ada di Indonesia.
Radikalisme yang melahirkan sikap intoleran itu telah menyejarah sejah zaman kolonial Belanda.

Di zaman pra kemerdekaan itu di Solo telah ada laskar militan bernama Tentara Kanjeng Nabi Muhammad (TKNM). Kelompok ini lahir dan dipicu oleh semangat anti kristenisasi dan anti kaum abangan.  Lahirnya TKNM dipicu oleh artikel surat kabar  di Surakarta, Djawi Hiswara pada edisi 11 Januari 1918. Harian yang dipimpin Martodharsono, anak didik Haji Samanhudi (pelopor Sarekat Islam) dengan judul  “Gusti Kandjeng Nabi Rasoel minoem A.V.H. Gin dan kadang soeka mengisap opioem”. Artikel ini dianggap menghina Islam.  

Tjokroaminoto, pelopor Sarekat Islam di Surabaya mendidih emosinya karena pemerintah Belanda yang menguasai nusantara tidak berbuat apa pun untuk menindak media tersebut. Padahal nyata-nyata media itu telah menistakan Muhammad, pembawa ajaran Islam di muka bumi. Pemerintah kolonial Belanda yang kristiani itu mengabaikan suara umat Islam yang tersinggung.
Jika media Djawi Hiswara ada di tahun 2012 ini sudah pasti kantor redaksi sudah jadi abu.  

Tjokroaminoto, guru politik dari pendiri bangsa yang kelak mewakili aliran masing-masing yaitu Soekarno (nasionalisme), Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (agama) dan Semaoen-Alimin (sosialisme) merasa  cukup beralasan tersinggung.

Penghinaan media Djawi Hiswara itu sudah selevel dengan kaum quraish yang menghina, mengusir Muhammad dari Mekah. Melihat kesesatan semacam ini, pemerintah diam seribu bahasa. 

Maka akhir Januari 1918, Tjokro mengajak pendiri perkumpulan orang Arab, Al Irsyad di Subaraya, Haji Hasan Bin Semit untuk membuat gerakan perlawanan dengan membuat wadah Tentara Kanjeng Nabi Muhammad (TKNM) pada Februari 1918. Tagline kelompok "mempertahankan kehormatan Islam, nabi, dan kaum muslim". 

 Duet Tjokro dan Hasan memobilisasi dana dari ummat untuk membangun tentara yang militan yang akan bergerak bila ada yang mengganggu Islam.  Keduanya berhasil mengumpulkan uang 3000 Gulden yang digunakan untuk membentuk milisi Islam.

Dalam waktu singkat TKNM berhasil menggelar rapat umum (vergadering) di beberapa ko
ta di Jawa dan Sumatra. Uang yang berhasil dikumpulkan pun makin banyak.  Aktivitas TKNM tak jauh dari mobilisasi massa, arak-arakan manusia di jalan, pengumpulan duit. Jika pun mereka membuat pernyataan sikap yang dikirim ke pemerintah, isinya tak segarang orasi di jalanan. 

 Haji Misbach, saudagar batik dan tokoh SI Solo pun bergabung dalam TKNM dan menjadi penyokong duit paling besar. Namun dalam perjalanannya, Haji Misbach menganggap TKNM tak lebih organisasi untuk mencari popularitas, hanya ramai karena arak-arakan sementara di internal kosong melompong.  

TKNM, menurut Misbach hanya sibuk bikin onar, bermesraan dengan pemerintah kolonial seraya terus menerus menumpulkan duit. TKNM tak beda dengan Djawi Hiswara yang menodai Islam. TKNM hanya sibuk memperdagangkan agama dan bikin onar.  Misbhach pun keluar dari TKNM dan membuat wadah baru bernama Sidik Amanah Tableg Vatonah (SATV). Organisasi baru ini dimaksudkan untuk lebih menggerakkan dan memajukan Islam. SATV mengoreksi propaganda TKNM yang terjebak untuk anti Kristen dan anti Abangan.  TKNM sudah sering mengobarkan benih permusuhan pada Kristen dan Abangan. Padahal seharusnya bukan dengan cara gelap mata.

Menurut Misbach, musuh Islam bukan Kristen dan Abangan tapi kapitalis dan kolonial. Kelak di kemudian hari Misbach menjadi tokoh muslim tulen yang komunis sekaligus tokoh komunis tulen yang muslim. Haji Misbach meluruskan pemahaman Islam yang salah. Ia tak sekadar merutuk tapi bekerja. Pemahamannya yang mendalam tentang Islam membuat ia disegani.

Ia teguh dalam berprinsip namun lentur dalam sikap. Tokoh besar ini meninggal pada tanggal 24 Mei 1926 di pengasingan. Jasadnya dikuburkan di kuburan Penindi Manokwari, di samping makam sang istri.  Lebih lanjut tentang Haji Miscbah silahkan baca buku: H.M Misbach: Kisah Haji Merah, yang ditulis Nor Hiqmah.  Warisan Radikalisme NIIPasca kemerdekaan, radikalisme Islam juga dapat dibaca dengan kelahiran Negara Islam Indonesia yang didirikan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.  

Setelah banyak berguru politik pada Tjokro dengan menjadi sekretaris pribadi, selain aktif di Partai Syarikat Islam (PSI), Kartosoewirjo makin semangat memperjuangkan gagasan negara Islam.  Tapi karena kecewa PSI ikut menuntut ke pemerintah Belanda agar mendirikan Indonesia Parlemen, suatu lembaga dengan wakil rakyat yang berdaulat penuh, Kartosoewirjo pun keluar dari PSI.

Ia menganggap kerja sama dengan Belanda adalah sikap kompromi, meskipun bertujuan baik yaitu sebagai tahapan kemerdekaan.  Keluar dari PSI, Kartosoewirjo bersama Kiai Yusuf Taujiri di Garut membuat Komite Pertahanan Kebenaran PSI. Sesudahnya ia membangun lembaga pengkaderan yang diberi nama Institut Suffah. Nantinya Suffah menjadi milisi Islam yang mendompleng program Jepang untuk membangun milisi guna menghadapi agresi militer barat.  

Suffah inilah cikal bakal DI/ TII yang diproklamirkan 7 Agustus 1949. Seiring perjalanan DI/TII yang memaksakan kehendak mendirikan negara Islam di Indonesia dengan hukum Islam dan pemerintahan Islam, Kartosoewirjo menjadi pemimpin Islam garis keras.

Keras bukan hanya pada kelompok non muslim, namun juga kepada umat Islam lainnya yang tidak mendukung NII. DI/TII mudah menuduh kafir pada ummat Islam lain.

Bahkan dalam salah satu babak sejarah NII, Kartosoewirjo menyerang Pesantren Cipari yang dipimpin Kiai Yusuf Taujiri. Penyerangan bukan cuma sekali, tapi sampai 47 kali. Padahal Yusuf Taujiri adalah mentor agama Kartosoewirjo. Yusuf pulalah  yang membantu pendalaman agama Kartosoewirjo yang sebelumnya tidak bisa berbahasa Arab dan kurang mengenal lebih dalam ilmu Islam.  

Pesantren Cipari bahkan pernah digempur habis-habisan oleh 3000 tentara DI/ TII selama delapan jam. Bangunan pesantren hancur, 11 warga pesantren mati, belasan TII juga tewas. Sementara Kiai Yusuf selamat. Semua itu dilatari karena Kartosoewirjo jengkel karena Kiai Yusuf, kiai tradisional itu, tidak mendukung gagasannya mendirikan negara Islam di Indonesia.   Lebih lanjut soal NII bisa baca buku: NII Sampai JI.Salafy Jihadisme Di Indonesia, yang ditulis Solahudin.  

Front Pembela Islam (FPI) dituding mengobarkan radikalisme dan kebencian dalam melaksanakan syiar Islam. FPI menebar kebencian baik kebencian pada sesama pemeluk Islam maupun kepada pemeluk agama lain. Tudingan itu tidak salah. Apa yang dipertontonkan FPI merupakan pengulangan pada zaman dahulu. Jika melacak pada sejarah, radikalisme bukanlah baru muncul di era 2000-an. jadi, jauh sebelum FPI merajalela, negeri ini sudah kenyang dengan radikalisme. 

Moral cerita di atas adalah kekerasan yang dijalankan kelompok radikal Islam itu sama sekali tak mampu membuat Islam berkuasa di negeri ini, tidak juga menjadikan negara ini jadi khilafah Islam. Justru kita rugi karena citra Islam dirusak oleh orang dan kelompok yang berniaga agama. Kekerasan menafikan karakter negara ini yang mengandalkan musyawarah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar