PPC Iklan Blogger Indonesia

Minggu, 17 Agustus 2014

Ioanes Rakhmat Menjawab Kaum Ateis I Apakah penderitaan Bukti Tidak Adanya Tuhan?

Orang ateis suka sekali berdalih bahwa adanya banyak penderitaan di dunia, bahkan penderitaan yang tidak patut dialami anak-anak manusia, adalah sebuah bukti bahwa Tuhan tidak ada. Kalaupun Tuhan ada, fakta penderitaan menunjukkan Tuhan ini impotent, lemah dan tanpa daya. Kata mereka lagi, kalau Tuhan ada, dan Tuhan itu maha pengasih dan maha kuasa, mustinya semua penderitaan manusia Tuhan sendiri akan hapus dan lenyapkan. Karena Tuhan tidak menghapus penderitaan, niscaya dia adalah Tuhan yang kejam. Dus, kata para ateis, jika Tuhan itu lemah dan tanpa daya, dan kejam, mengapa manusia dengan sangat bodoh masih menyebut dan menyembahnya sebagai Tuhan, dan bahkan masih percaya dia ada?

Orang ateis suka sekali mengutip ucapan Epikurus di atas yang dikenal sebagai "trilemma of Epicurus", tanpa pernah berpikir trilemma ini lahir dari kesalahan dan kedangkalan berpikir, seperti saya perlihatkan dalam tulisan ini 

Perspektif mereka di atas sangat mengherankan. Sangat dangkal. Apakah mereka tidak berpikir, seandainya ateisme sudah dianut semua orang di muka Bumi (jumlahnya sekarang 7 milyar kepala lebih), dan Tuhan sudah dihapus dari kesadaran dan memori manusia, penderitaan masih akan terus ada dalam dunia ini?

Apakah mereka juga tidak berpikir bahwa untuk ateisme bisa menang di muka Bumi sebagai satu-satunya kepercayaan di muka Bumi (kepercayaan bahwa Tuhan tidak ada), mereka perlu membantai semua agama dan ideologi tandingan, dus mereka harus menciptakan perang sejagat atas nama ateisme untuk memenangkan ateisme? Jika perang ini betul terjadi nanti, bukankah ini juga sebuah bukti kuat bahwa ateisme juga sebuah sumber ideologis kuat munculnya penderitaan dalam dunia?

Apakah mereka juga tidak tahu, bahwa sebelum agama-agama muncul penderitaan sudah dialami manusia sebagai keadaan yang alamiah? Dus, tidak tahukah mereka bahwa Tuhan kemudian dikonsep (sebagai salah satu teologi metaforis) justru untuk menyatakan bahwa manusia tidak perlu merasa terbuang dan disendirikan karena harus menanggung penderitaan, berhubung ada Allah yang setia kepada mereka dan yang memahami betul penderitaan mereka.

Jadi, teologi mau mengobati duka batin manusia karena adanya penderitaan, bukan mau menyatakan bahwa penyebab penderitaan adalah Allah atau bahwa Allah impotent dan kejam.

Kaum ateis salah memahami. Mereka tidak mampu berpikir bahwa Tuhan dikonsep justru, salah satu tujuannya, untuk menguatkan orang yang sedang didera azab. Tuhan bukan sumber penderitaan, tapi sosok yang melawan penderitaan. Jika orang ateis memandang Tuhan sebagai sumber azab atau sebagai impotent terhadap realitas penderitaan, mereka telah melakukan kesalahan berpikir. Sesat berpikir, alhasil terlalu naif untuk bisa dikatakan mereka cerdas.

Kaum ateis anehnya banyak sekali melakukan kesalahan berpikir padahal mereka sangat dogmatik bahwa ateisme adalah ilmiah. Ilmiah kata siapa? Saintis-lah yang harus konsisten ilmiah, baik saintis teis maupun saintis ateis atau agnostik. Kalau kaum ateis tidak konsisten ilmiah, ya saya bisa maklum, karena yang mereka anut adalah kepercayaan pada ketidakadaan Tuhan.

Mari kita masuk ke horison yang lebih luas. Kenapa kita menderita? Salah satu hal yang membuat kita merasa menderita adalah kenyataan bahwa kita mengalami kondisi degeneratif, dari semula sehat menjadi sakit, makin parah, dan akhirnya mati, lenyap dari dunia orang hidup. Memikirkan fakta ini saja, seperti konon dialami pangeran Siddhartha Gautama, sudah membuat kita merasa sedih dan menderita, apalagi mengalaminya. Dan jika kita punya banyak orang yang mengasihi kita, mereka juga ikut menderita ketika kita menderita. Melihat orang lain menderita karena kita menderita, menambah beban penderitaan kita.

Pertanyaannya: Apakah fakta penderitaan semacam ini harus dihubungkan dengan Tuhan, lalu oleh para ateis dijadikan dasar untuk menyatakan Tuhan tidak ada, atau Tuhan itu lemah dan kejam? Ya, ini argumen klise kalangan ateis yang sebetulnya sangat lemah dan tidak punya horison semesta dalam memandang kehidupan ini. Maksud saya berikut ini.

Lahir, usia muda, menua, lemah, loyo, lansia, sakit-sakitan, lalu mati, adalah fakta kosmologis yang sudah berlangsung bermilyar-milyar tahun lalu, hingga sekarang dan akan terus demikian selama jagat raya masih ada dan selama evolusi jagat raya berlangsung terus tanpa batas, bersiklus infinitum.

Beberapa ratus tahun setelah big bang (terjadi 13,8 milyar tahun lalu), mulailah terbentuk unsur-unsur yang akhirnya membentuk galaksi-galaksi. Di dalam galaksi-galaksi ada bintang-bintang, planet-planet, nebula, kuasar, dsb. Nah, saat dilahirkan, semua unsur galaksi dan galaksinya sendiri berusia belia, dengan kekuatan yang juga hebat. Tapi saat waktu terus berjalan ke depan, semuanya makin tua, lalu akhirnya ada yang akan menjadi benda-benda mati atau meledak (sebagai supernovae, misalnya). Itu terjadi bukan hanya untuk benda-benda inorganik, tapi juga untuk benda-benda organik, misalnya kehidupan, baik bentuk kehidupan yang sederhana sekali (bersel tunggal, contohnya bakteri) maupun bentuk kehidupan yang bersel majemuk (multiselular). Kehidupan ada di mana-mana, dalam berbagai bentuk dan sifat, mengisi seluruh ruang kosmos. Ini dinamakan panspermia

Bentuk-bentuk kehidupan ini secara alamiah mengalami masa kelahiran, kanak-kanak, remaja, pemuda, lalu mulai menua, sampai akhirnya mati. Fakta lahir, usia muda, lalu mati, sudah berlangsung bermilyar-milyar tahun yang lampau, jauh sebelum Bumi dan tata surya kita terbentuk 5 milyar tahun lalu. Dan akan terus demikian sampai, milyaran tahun dari sekarang, jagat raya kita mencapai titik jenuh pengembangannya, lalu menciut lagi yang mengakibatkan semua isi jagat raya bertabrakan satu sama lain sebagai bencana-bencana kosmis mahadahsyat, lalu akhirnya kembali ke kondisi awal yang dinamakan "singularitas lubang hitam". Jika momennya sudah tiba, singularitas ini akan mendentum kembali sebagai "big bang" baru yang akan memulai kembali kelahiran jagat raya. Demikian seterusnya, limitless, infinitum, jagat raya mengulang kembali siklus kelahiran, pengembangan, penuaan, dan kebinasaan. Lahir, muda, tua, loyo, lalu binasa, adalah hukum alam yang abadi. Tidak ada yang bisa menghentikannya.

Nah, tanpa ada Tuhanpun, evolusi jagat raya dari kelahiran sampai binasa sudah berlangsung, dan akan terus berlangsung. Apa yang kita alami di Bumi sebagai fakta kelahiran sampai kematian adalah hal lumrah dalam jagat raya kita, sejak Bumi terbentuk 5 milyar tahun lalu. Manusia (homo sapiens, artinya: organisme cerdas) baru muncul 400.000 tahun lalu (di Afrika), sementara bentuk kehidupan bersel tunggal di planet ini muncul 3,5 milyar tahun lalu. Fakta lahir dan lenyap ini sudah dialami dan dirasakan oleh bentuk-bentuk kehidupan yang sederhana sejak 3,5 milyar tahun lalu.

Hanya organisme cerdas homo sapiens yang memiliki kemampuan merenungi, memikirkan dan mengabstraksi dan mencari makna atas fakta-fakta ini. Mulailah homo sapiens merasakan penderitaan besar karena fakta-fakta ini, lalu mencari sebab-musabab dan jalan-jalan mengatasinya. Homo sapiens tertua tidak berpikir bahwa fakta-fakta penderitaan ini terkait dengan sosok Tuhan apapun, karena agama saat itu belum muncul, belum dikonsep. Agama tertua muncul di planet Bumi baru 70.000 tahun lalu (di Afrika Selatan). Dus, usia agama masih sangat muda. Inipun bukan agama teisme, tapi agama-agama alam. Usia teisme sendiri di bawah 3.000 tahun, jauh lebih muda lagi.

Jadi, adanya penderitaan (mulai dari kelahiran sampai kebinasaan) yang dapat muncul karena berbagai sebab adalah bagian integral dari struktur dan kodrat kosmos itu sendiri. Sudah berlangsung sejak jagat raya ini terbentuk (13,8 milyar tahun lalu) dalam bentuk lahir dan lenyapnya unsur-unsur jagat raya dan berbagai bentuk kehidupan. Tidak ada kaitannya sama sekali dengan ada atau tidak adanya Tuhan, artinya tidak terkait dengan teisme maupun dengan ateisme. Anda bertuhan atau tidak, teis ataupun ateis ataupun agnostik, anda pasti akan mengalami apa yang kita rasakan sebagai azab dan duka.

Nah, ketika berbagai bentuk teisme muncul, barulah dikonsep berbagai metafora teologis untuk menjelaskan dan memaknai fakta adanya penderitaan ini, to make sense the reality of suffering. Ini salah satu tujuan mengapa teologi atau agama-agama dibangun. Berbagai teologi bermunculan. Sangat kaya. Kreatif. Enjoyable. Itulah dunia metafora. Ada metafora yang bagus dan bermanfaat; ada juga metafora yang tidak bagus dan tidak bermanfaat.

Nah, anehnya, meskipun mereka menganut agama tanpa Tuhan supernatural, kaum ateis selalu mendesak (kerap dengan nada mengolok-olok) kaum teis untuk menyusun teologi tentang Tuhan yang sanggup menghapus semua penderitaan dalam dunia ini supaya terbukti Tuhan ini tidak lemah dan karenanya dapat dipercaya dan layak disebut Tuhan. Ternyata orang teis jauh lebih cerdas dari kaum ateis. Kaum teis akan menyatakan kepada para ateis demikian: Tuhan yang menghapus seluruh penderitaan dalam dunia adalah Tuhan kamu, Tuhan para ateis, bukan Tuhan kami, kaum teis. Bagi kami, berhubung kami tahu penderitaan adalah bagian dari struktur dan kodrat kosmologis, yang sudah ada jauh sebelum agama teisme disusun, teologi semacam yang dituntut kalian, para ateis, adalah teologi isapan jempol kaum ateis. Bukan teologi itu yang kami butuhkan! Kami membangun metafora yang lain.

Metafora teologis yang bagus menyatakan bahwa Tuhan ada justru untuk menemani dan menguatkan setiap insan yang menderita. Ini dinamakan teologi "Immanuel" (Ibrani), artinya teologi "Tuhan beserta kita"! Bahkan dalam metafora teologis terkuat dalam kitab suci Perjanjian Baru, digambarkan bahwa Allah sendiri mati di kayu salib untuk menanggung semua penderitaan manusia. Lepas dari apakah metafora ini efektif dan mujarab dengan real, hal yang pasti adalah umat yang sedang menanggung azab umumnya merasa dikuatkan oleh metafora solidaritas Allah ini. Jelas, Tuhan bukan sumber azab dan juga bukan impotent terhadap azab. Tuhan justru membuat setiap insan yang menderita tabah dan kuat dan tetap punya harapan. Nah, jika metafora yang bagus ini dihina dan dicemooh para ateis, saya sungguh tidak bisa paham apa yang mengisi pikiran mereka.

Jelas, religiofobia (kebencian terhadap agama) sudah menjadi bagian integral dari iman ateisme, sehingga mereka tidak bisa melihat ada sangat banyak keindahan yang menyentuh hati dalam dunia agama-agama. Sayang sekali jika agama-agama yang bagus ini mau dilenyapkan oleh mereka, diganti dengan agama baru yang namanya ateisme, agama tanpa Tuhan supernatural. Tapi masih ada sebuah kisah lain yang perlu kita dengarkan juga.

Bagaimana halnya dengan azab yang terjadi bukan karena sebab natural? OK. Lihat dan renungi gambar di bawah ini. Penderitaan yang dipesankan oleh gambar di bawah ini tidak membutuhkan ateisme, tetapi membutuhkan cinta kasih, solidaritas, dan keadilan mendistribusi kekayaan dunia! Penderitaan semacam ini bukan datang dari Tuhan, bukan juga sebuah bukti Tuhan itu impotent dan kejam, tetapi datang dari sesama manusia yang kejam dan sebagai bukti sedang bekerjanya sistem ekonomi dunia yang tidak adil. Lewat anda yang terketuk hati, Tuhan mau azab semacam ini teratasi. Sekali lagi, bukan lewat ateisme, tetapi lewat kerjasama global memerangi kemiskinan, bukan oleh Tuhan, tetapi oleh semua orang yang memiliki cinta dan solidaritas.


 Foto: PENDERITAAN, BUKTI KETIDAKADAAN TUHAN?

Orang ateis suka sekali berdalih bahwa adanya banyak penderitaan di dunia, bahkan penderitaan yang tidak patut dialami anak-anak manusia, adalah sebuah bukti bahwa Tuhan tidak ada. Kalaupun Tuhan ada, fakta penderitaan menunjukkan Tuhan ini impotent, lemah dan tanpa daya. Kata mereka lagi, kalau Tuhan ada, dan Tuhan itu maha pengasih dan maha kuasa, mustinya semua penderitaan manusia Tuhan sendiri akan hapus dan lenyapkan. Karena Tuhan tidak menghapus penderitaan, niscaya dia adalah Tuhan yang kejam. Dus, kata para ateis, jika Tuhan itu lemah dan tanpa daya, dan kejam, mengapa manusia dengan sangat bodoh masih menyebut dan menyembahnya sebagai Tuhan, dan bahkan masih percaya dia ada?

Perspektif mereka di atas sangat mengherankan. Sangat dangkal. Apakah mereka tidak berpikir, seandainya ateisme sudah dianut semua orang di muka Bumi (jumlahnya sekarang 7 milyar kepala lebih), dan Tuhan sudah dihapus dari kesadaran dan memori manusia, penderitaan masih akan terus ada dalam dunia ini?

Apakah mereka juga tidak berpikir bahwa untuk ateisme bisa menang di muka Bumi sebagai satu-satunya kepercayaan di muka Bumi (kepercayaan bahwa Tuhan tidak ada), mereka perlu membantai semua agama dan ideologi tandingan, dus mereka harus menciptakan perang sejagat atas nama ateisme untuk memenangkan ateisme? Jika perang ini betul terjadi nanti, bukankah ini juga sebuah bukti kuat bahwa ateisme juga sebuah sumber ideologis kuat munculnya penderitaan dalam dunia?

Apakah mereka juga tidak tahu, bahwa sebelum agama-agama muncul penderitaan sudah dialami manusia sebagai keadaan yang alamiah? Dus, tidak tahukah mereka bahwa Tuhan kemudian dikonsep (sebagai salah satu teologi metaforis) justru untuk menyatakan bahwa manusia tidak perlu merasa terbuang dan disendirikan karena harus menanggung penderitaan, berhubung ada Allah yang setia kepada mereka dan yang memahami betul penderitaan mereka.

Jadi, teologi mau mengobati duka batin manusia karena adanya penderitaan, bukan mau menyatakan bahwa penyebab penderitaan adalah Allah atau bahwa Allah impotent.

Kaum ateis salah memahami. Mereka tidak mampu berpikir bahwa Tuhan dikonsep justru, salah satu tujuannya, untuk menguatkan orang yang sedang didera azab. Tuhan bukan sumber penderitaan, tapi sosok yang melawan penderitaan. Jika orang ateis memandang Tuhan sebagai sumber azab atau sebagai impotent terhadap realitas penderitaan, mereka telah melakukan kesalahan berpikir. Sesat berpikir, terlalu naif untuk bisa dikatakan mereka cerdas.

Kaum ateis anehnya banyak sekali melakukan kesalahan berpikir padahal mereka sangat dogmatik bahwa ateisme adalah ilmiah. Ilmiah kata siapa? Saintis-lah yang harus konsisten ilmiah, baik saintis teis maupun saintis ateis atau agnostik. Kalau kaum ateis tidak konsisten ilmiah, ya saya bisa maklum, karena yang mereka anut adalah kepercayaan pada ketidakadaan Tuhan.

Mari kita masuk ke horison yang lebih luas. Kenapa kita menderita? Salah satu hal yang membuat kita merasa menderita adalah kenyataan bahwa kita mengalami kondisi degeneratif, dari semula sehat menjadi sakit, makin parah, dan akhirnya mati, lenyap dari dunia orang hidup. Memikirkan fakta ini saja, seperti konon dialami pangeran Siddhartha Gautama, sudah membuat kita merasa sedih dan menderita, apalagi mengalaminya. Dan jika kita punya banyak orang yang mengasihi kita, mereka juga ikut menderita ketika kita menderita. Melihat orang lain menderita karena kita menderita, menambah beban penderitaan kita.

Pertanyaannya: Apakah fakta penderitaan semacam ini harus dihubungkan dengan Tuhan, lalu oleh para ateis dijadikan dasar untuk menyatakan Tuhan tidak ada, atau Tuhan itu lemah? Ya, ini argumen klise kalangan ateis yang sebetulnya sangat lemah dan tidak punya horison semesta dalam memandang kehidupan ini. Maksud saya berikut ini.

Lahir, usia muda, menua, lemah, loyo, lansia, sakit-sakitan, lalu mati, adalah fakta kosmologis yang sudah berlangsung bermilyar-milyar tahun lalu, hingga sekarang dan akan terus demikian selama jagat raya masih ada dan selama evolusi jagat raya berlangsung terus tanpa batas, bersiklus infinitum.

Beberapa ratus tahun setelah big bang (terjadi 13,8 milyar tahun lalu), mulailah terbentuk unsur-unsur yang akhirnya membentuk galaksi-galaksi. Di dalam galaksi-galaksi ada bintang-bintang, planet-planet, nebula, kuasar, dsb. Nah, saat dilahirkan, semua unsur galaksi dan galaksinya sendiri berusia belia, dengan kekuatan yang juga hebat. Tapi saat waktu terus berjalan ke depan, semuanya makin tua, lalu akhirnya ada yang akan menjadi benda-benda mati atau meledak (sebagai supernovae, misalnya). Itu terjadi bukan hanya untuk benda-benda inorganik, tapi juga untuk benda-benda organik, misalnya kehidupan, baik bentuk kehidupan yang sederhana sekali (bersel tunggal, contohnya bakteri) maupun bentuk kehidupan yang bersel majemuk (multiselular). Kehidupan ada di mana-mana, dalam berbagai bentuk dan sifat, mengisi seluruh ruang kosmos. Ini dinamakan panspermia. 

Bentuk-bentuk kehidupan ini secara alamiah mengalami masa kelahiran, kanak-kanak, remaja, pemuda, lalu mulai menua, sampai akhirnya mati. Fakta lahir, usia muda, lalu mati, sudah berlangsung bermilyar-milyar tahun yang lampau, jauh sebelum Bumi dan tata surya kita terbentuk 5 milyar tahun lalu. Dan akan terus demikian sampai, milyaran tahun dari sekarang, jagat raya kita mencapai titik jenuh pengembangannya, lalu menciut lagi yang mengakibatkan semua isi jagat raya bertabrakan satu sama lain, lalu akhirnya kembali ke kondisi awal yang dinamakan "singularitas lubang hitam". Jika momennya sudah tiba, singularitas ini akan mendentum kembali sebagai "big bang" baru yang akan memulai kembali kelahiran jagat raya. Demikian seterusnya, limitless, infinitum, jagat raya mengulang kembali siklus kelahiran, pengembangan, penuaan, dan kebinasaan. Lahir, muda, tua, loyo, lalu binasa, adalah hukum alam yang abadi. Tidak ada yang bisa menghentikannya.

Nah, tanpa ada Tuhanpun, evolusi jagat raya dari kelahiran sampai binasa sudah berlangsung, dan akan terus berlangsung. Apa yang kita alami di Bumi sebagai fakta kelahiran sampai kematian adalah hal lumrah dalam jagat raya kita, sejak Bumi terbentuk 5 milyar tahun lalu. Manusia (homo sapiens, artinya: organisme cerdas) baru muncul 400.000 tahun lalu (di Afrika), sementara bentuk kehidupan bersel tunggal di planet ini muncul 3,5 milyar tahun lalu. Fakta lahir dan lenyap ini sudah dialami dan dirasakan oleh bentuk-bentuk kehidupan yang sederhana sejak 3,5 milyar tahun lalu.

Hanya organisme cerdas homo sapiens yang memiliki kemampuan merenungi, memikirkan dan mengabstraksi dan mencari makna atas fakta-fakta ini. Mulailah homo sapiens merasakan penderitaan besar karena fakta-fakta ini, lalu mencari sebab-musabab dan jalan-jalan mengatasinya. Homo sapiens tertua tidak berpikir bahwa fakta-fakta penderitaan ini terkait dengan sosok Tuhan apapun, karena agama saat itu belum muncul, belum dikonsep. Agama tertua muncul di planet Bumi baru 70.000 tahun lalu (di Afrika Selatan). Dus, usia agama masih sangat muda. Inipun bukan agama teisme, tapi agama-agama alam. Usia teisme sendiri di bawah 3.000 tahun, jauh lebih muda lagi.

Jadi, adanya penderitaan (mulai dari kelahiran sampai kebinasaan) yang dapat muncul karena berbagai sebab adalah bagian integral dari struktur dan kodrat kosmos itu sendiri. Sudah berlangsung sejak jagat raya ini terbentuk (13,8 milyar tahun lalu) dalam bentuk lahir dan lenyapnya unsur-unsur jagat raya dan berbagai bentuk kehidupan. Tidak ada kaitannya sama sekali dengan ada atau tidak adanya Tuhan, artinya tidak terkait dengan teisme maupun dengan ateisme. Anda bertuhan atau tidak, teis ataupun ateis ataupun agnostik, anda pasti akan mengalami apa yang kita rasakan sebagai azab dan duka.

Nah, ketika berbagai bentuk teisme muncul, barulah dikonsep berbagai metafora teologis untuk menjelaskan dan memaknai fakta adanya penderitaan ini, to make sense the reality of suffering. Ini salah satu tujuan mengapa teologi atau agama-agama dibangun. Berbagai teologi bermunculan. Sangat kaya. Kreatif. Enjoyable. Itulah dunia metafora. Ada metafora yang bagus dan bermanfaat; ada juga metafora yang tidak bagus dan tidak bermanfaat.

Nah, anehnya, meskipun mereka menganut agama tanpa Tuhan supernatural, kaum ateis selalu mendesak (kerap dengan nada mengolok-olok) kaum teis untuk menyusun teologi tentang Tuhan yang sanggup menghapus semua penderitaan dalam dunia ini supaya terbukti Tuhan ini tidak lemah dan karenanya dapat dipercaya dan layak disebut Tuhan. Ternyata orang teis jauh lebih cerdas dari kaum ateis. Kaum teis akan menyatakan kepada para ateis demikian: Tuhan yang menghapus seluruh penderitaan dalam dunia adalah Tuhan kamu, Tuhan para ateis, bukan Tuhan kami, kaum teis. Bagi kami, berhubung kami tahu penderitaan adalah bagian dari struktur dan kodrat kosmologis, yang sudah ada jauh sebelum agama teisme disusun, teologi semacam yang dituntut kalian, para ateis, adalah teologi isapan jempol kaum ateis. Bukan teologi itu yang kami butuhkan! Kami membangun metafora yang lain.

Metafora teologis yang bagus menyatakan bahwa Tuhan ada justru untuk menemani dan menguatkan setiap insan yang menderita. Ini dinamakan teologi "Immanuel" (Ibrani), artinya teologi "Tuhan beserta kita"! Bahkan dalam metafora teologis terkuat dalam kitab suci Perjanjian Baru, digambarkan bahwa Allah sendiri mati di kayu salib untuk menanggung semua penderitaan manusia. Lepas dari apakah metafora ini efektif dan mujarab dengan real, hal yang pasti adalah umat yang sedang menanggung azab umumnya merasa dikuatkan oleh metafora solidaritas Allah ini. Jelas, Tuhan bukan sumber azab dan juga bukan impotent terhadap azab. Tuhan justru membuat setiap insan yang menderita tabah dan kuat dan tetap punya harapan. Nah, jika metafora yang bagus ini dihina dan dicemooh para ateis, saya sungguh tidak bisa paham apa yang mengisi pikiran mereka.

Jelas, religiofobia (kebencian terhadap agama) sudah menjadi bagian integral dari iman ateisme, sehingga mereka tidak bisa melihat ada sangat banyak keindahan yang menyentuh hati dalam dunia agama-agama. Sayang sekali jika agama-agama yang bagus ini mau dilenyapkan oleh mereka, diganti dengan agama baru yang namanya ateisme, agama tanpa Tuhan supernatural. Tapi masih ada sebuah kisah lain yang perlu kita dengarkan juga.

Bagaimana halnya dengan azab yang terjadi bukan karena sebab natural? OK. Lihat dan renungi gambar di bawah ini. Penderitaan yang dipesankan oleh gambar di bawah ini tidak membutuhkan ateisme, tetapi membutuhkan cinta kasih, solidaritas, dan keadilan mendistribusi kekayaan dunia! Penderitaan semacam ini bukan datang dari Tuhan, bukan juga sebuah bukti Tuhan itu impotent, tetapi datang dari sesama manusia yang kejam dan sebagai bukti sedang bekerjanya sistem ekonomi dunia yang tidak adil. Lewat anda yang terketuk hati, Tuhan mau azab semacam ini teratasi. Sekali lagi, bukan lewat ateisme, tetapi lewat kerjasama global memerangi kemiskinan, bukan oleh Tuhan, tetapi oleh semua orang yang memiliki cinta dan solidaritas.

Anehnya, kaum ateis menghendaki azab karena ulah manusia ini dipelintir menjadi azab karena ulah Tuhan. Tak pelak lagi, inilah nasihat saya kepada para ateis: Kutuklah manusia-manusia tamak dan sistem ekonomi yang tidak adil, bukan mengutuk Tuhan. Berapa banyakpun anda mengutuk Tuhan, keadaan yang memelas ini tidak akan hilang. Sumber azab ini bukan Tuhan, tetapi manusia. Periksalah berapa banyak orang ateis yang ikut serta berperan dalam melahirkan azab semacam ini! Peace be with all the living.

Anehnya, kaum ateis menghendaki azab karena ulah manusia ini dipelintir menjadi azab karena ulah Tuhan. Katanya mereka menolak teologi apapun, tetapi anehnya mereka sendiri berteologi saat mereka mengasalkan azab ini kepada Tuhan. Katanya mereka tidak percaya Tuhan, tapi anehnya mereka memikirkan dan memandangTuhan sebagai kejam, tak punya daya, dus tidak layak disebut sebagai Tuhan. Ateisme memang penuh kontradiksi internal. Ciri umum agama.

Tak pelak lagi, inilah nasihat saya kepada para ateis: Kutuklah manusia-manusia tamak dan sistem ekonomi yang tidak adil, bukan mengutuk Tuhan. Berapa banyakpun anda mengutuk Tuhan, keadaan yang memelas ini tidak akan hilang. Sumber azab ini bukan Tuhan, tetapi manusia. Periksalah berapa banyak orang ateis yang ikut serta berperan dalam melahirkan azab semacam ini! Peace be with all the living.

Selamat merayakan HUT NKRI 17 Agustus 2014!

https://www.facebook.com/notes/ioanes-rakhmat-full/menjawab-kaum-ateis-apakah-penderitaan-bukti-tidak-adanya-tuhan/10152630985764096


Tidak ada komentar:

Posting Komentar