Orang ateis suka sekali berdalih bahwa adanya banyak penderitaan di
dunia, bahkan penderitaan yang tidak patut dialami anak-anak manusia,
adalah sebuah bukti bahwa Tuhan tidak ada. Kalaupun Tuhan ada, fakta
penderitaan menunjukkan Tuhan ini impotent, lemah dan tanpa
daya. Kata mereka lagi, kalau Tuhan ada, dan Tuhan itu maha pengasih
dan maha kuasa, mustinya semua penderitaan manusia Tuhan sendiri akan
hapus dan lenyapkan. Karena Tuhan tidak menghapus penderitaan, niscaya
dia adalah Tuhan yang kejam. Dus, kata para ateis, jika Tuhan itu lemah
dan tanpa daya, dan kejam, mengapa manusia dengan sangat bodoh masih
menyebut dan menyembahnya sebagai Tuhan, dan bahkan masih percaya dia
ada?
Orang ateis suka sekali mengutip ucapan Epikurus di atas yang
dikenal sebagai "trilemma of Epicurus", tanpa pernah berpikir trilemma
ini lahir dari kesalahan dan kedangkalan berpikir, seperti saya
perlihatkan dalam tulisan ini
Perspektif mereka di
atas sangat mengherankan. Sangat dangkal. Apakah mereka tidak
berpikir, seandainya ateisme sudah dianut semua orang di muka Bumi
(jumlahnya sekarang 7 milyar kepala lebih), dan Tuhan sudah dihapus
dari kesadaran dan memori manusia, penderitaan masih akan terus ada
dalam dunia ini?
Apakah mereka juga tidak berpikir bahwa
untuk ateisme bisa menang di muka Bumi sebagai satu-satunya kepercayaan
di muka Bumi (kepercayaan bahwa Tuhan tidak ada), mereka perlu
membantai semua agama dan ideologi tandingan, dus mereka harus
menciptakan perang sejagat atas nama ateisme untuk memenangkan ateisme?
Jika perang ini betul terjadi nanti, bukankah ini juga sebuah bukti
kuat bahwa ateisme juga sebuah sumber ideologis kuat munculnya
penderitaan dalam dunia?
Apakah mereka juga tidak tahu,
bahwa sebelum agama-agama muncul penderitaan sudah dialami manusia
sebagai keadaan yang alamiah? Dus, tidak tahukah mereka bahwa Tuhan
kemudian dikonsep (sebagai salah satu teologi metaforis) justru untuk
menyatakan bahwa manusia tidak perlu merasa terbuang dan disendirikan
karena harus menanggung penderitaan, berhubung ada Allah yang setia
kepada mereka dan yang memahami betul penderitaan mereka.
Jadi,
teologi mau mengobati duka batin manusia karena adanya penderitaan,
bukan mau menyatakan bahwa penyebab penderitaan adalah Allah atau bahwa
Allah impotent dan kejam.
Kaum ateis salah
memahami. Mereka tidak mampu berpikir bahwa Tuhan dikonsep justru,
salah satu tujuannya, untuk menguatkan orang yang sedang didera azab.
Tuhan bukan sumber penderitaan, tapi sosok yang melawan penderitaan.
Jika orang ateis memandang Tuhan sebagai sumber azab atau sebagai
impotent terhadap realitas penderitaan, mereka telah melakukan kesalahan
berpikir. Sesat berpikir, alhasil terlalu naif untuk bisa dikatakan
mereka cerdas.
Kaum ateis anehnya banyak sekali melakukan
kesalahan berpikir padahal mereka sangat dogmatik bahwa ateisme adalah
ilmiah. Ilmiah kata siapa? Saintis-lah yang harus konsisten ilmiah,
baik saintis teis maupun saintis ateis atau agnostik. Kalau kaum ateis
tidak konsisten ilmiah, ya saya bisa maklum, karena yang mereka anut
adalah kepercayaan pada ketidakadaan Tuhan.
Mari kita
masuk ke horison yang lebih luas. Kenapa kita menderita? Salah satu hal
yang membuat kita merasa menderita adalah kenyataan bahwa kita
mengalami kondisi degeneratif, dari semula sehat menjadi
sakit, makin parah, dan akhirnya mati, lenyap dari dunia orang hidup.
Memikirkan fakta ini saja, seperti konon dialami pangeran Siddhartha
Gautama, sudah membuat kita merasa sedih dan menderita, apalagi
mengalaminya. Dan jika kita punya banyak orang yang mengasihi kita,
mereka juga ikut menderita ketika kita menderita. Melihat orang lain
menderita karena kita menderita, menambah beban penderitaan kita.
Pertanyaannya:
Apakah fakta penderitaan semacam ini harus dihubungkan dengan Tuhan,
lalu oleh para ateis dijadikan dasar untuk menyatakan Tuhan tidak ada,
atau Tuhan itu lemah dan kejam? Ya, ini argumen klise kalangan ateis
yang sebetulnya sangat lemah dan tidak punya horison semesta dalam
memandang kehidupan ini. Maksud saya berikut ini.
Lahir,
usia muda, menua, lemah, loyo, lansia, sakit-sakitan, lalu mati, adalah
fakta kosmologis yang sudah berlangsung bermilyar-milyar tahun lalu,
hingga sekarang dan akan terus demikian selama jagat raya masih ada dan
selama evolusi jagat raya berlangsung terus tanpa batas, bersiklus infinitum.
Beberapa ratus tahun setelah big bang
(terjadi 13,8 milyar tahun lalu), mulailah terbentuk unsur-unsur yang
akhirnya membentuk galaksi-galaksi. Di dalam galaksi-galaksi ada
bintang-bintang, planet-planet, nebula, kuasar, dsb. Nah, saat
dilahirkan, semua unsur galaksi dan galaksinya sendiri berusia belia,
dengan kekuatan yang juga hebat. Tapi saat waktu terus berjalan ke
depan, semuanya makin tua, lalu akhirnya ada yang akan menjadi
benda-benda mati atau meledak (sebagai supernovae, misalnya).
Itu terjadi bukan hanya untuk benda-benda inorganik, tapi juga untuk
benda-benda organik, misalnya kehidupan, baik bentuk kehidupan yang
sederhana sekali (bersel tunggal, contohnya bakteri) maupun bentuk
kehidupan yang bersel majemuk (multiselular). Kehidupan ada di
mana-mana, dalam berbagai bentuk dan sifat, mengisi seluruh ruang
kosmos. Ini dinamakan panspermia.
Bentuk-bentuk
kehidupan ini secara alamiah mengalami masa kelahiran, kanak-kanak,
remaja, pemuda, lalu mulai menua, sampai akhirnya mati. Fakta lahir,
usia muda, lalu mati, sudah berlangsung bermilyar-milyar tahun yang
lampau, jauh sebelum Bumi dan tata surya kita terbentuk 5 milyar tahun
lalu. Dan akan terus demikian sampai, milyaran tahun dari sekarang,
jagat raya kita mencapai titik jenuh pengembangannya, lalu menciut lagi
yang mengakibatkan semua isi jagat raya bertabrakan satu sama lain
sebagai bencana-bencana kosmis mahadahsyat, lalu akhirnya kembali ke
kondisi awal yang dinamakan "singularitas lubang hitam". Jika momennya
sudah tiba, singularitas ini akan mendentum kembali sebagai "big bang"
baru yang akan memulai kembali kelahiran jagat raya. Demikian
seterusnya, limitless, infinitum, jagat raya mengulang
kembali siklus kelahiran, pengembangan, penuaan, dan kebinasaan.
Lahir, muda, tua, loyo, lalu binasa, adalah hukum alam yang abadi.
Tidak ada yang bisa menghentikannya.
Nah, tanpa ada
Tuhanpun, evolusi jagat raya dari kelahiran sampai binasa sudah
berlangsung, dan akan terus berlangsung. Apa yang kita alami di Bumi
sebagai fakta kelahiran sampai kematian adalah hal lumrah dalam jagat
raya kita, sejak Bumi terbentuk 5 milyar tahun lalu. Manusia (homo sapiens,
artinya: organisme cerdas) baru muncul 400.000 tahun lalu (di Afrika),
sementara bentuk kehidupan bersel tunggal di planet ini muncul 3,5
milyar tahun lalu. Fakta lahir dan lenyap ini sudah dialami dan
dirasakan oleh bentuk-bentuk kehidupan yang sederhana sejak 3,5 milyar
tahun lalu.
Hanya organisme cerdas homo sapiens yang
memiliki kemampuan merenungi, memikirkan dan mengabstraksi dan mencari
makna atas fakta-fakta ini. Mulailah homo sapiens merasakan penderitaan
besar karena fakta-fakta ini, lalu mencari sebab-musabab dan
jalan-jalan mengatasinya. Homo sapiens tertua tidak berpikir bahwa
fakta-fakta penderitaan ini terkait dengan sosok Tuhan apapun, karena
agama saat itu belum muncul, belum dikonsep. Agama tertua muncul di
planet Bumi baru 70.000 tahun lalu (di Afrika Selatan). Dus, usia agama
masih sangat muda. Inipun bukan agama teisme, tapi agama-agama alam.
Usia teisme sendiri di bawah 3.000 tahun, jauh lebih muda lagi.
Jadi, adanya penderitaan (mulai dari kelahiran sampai kebinasaan) yang dapat muncul karena berbagai sebab adalah bagian integral dari struktur dan kodrat kosmos itu sendiri.
Sudah berlangsung sejak jagat raya ini terbentuk (13,8 milyar tahun
lalu) dalam bentuk lahir dan lenyapnya unsur-unsur jagat raya dan
berbagai bentuk kehidupan. Tidak ada kaitannya sama sekali dengan ada
atau tidak adanya Tuhan, artinya tidak terkait dengan teisme maupun
dengan ateisme. Anda bertuhan atau tidak, teis ataupun ateis ataupun
agnostik, anda pasti akan mengalami apa yang kita rasakan sebagai azab
dan duka.
Nah, ketika berbagai bentuk teisme muncul,
barulah dikonsep berbagai metafora teologis untuk menjelaskan dan
memaknai fakta adanya penderitaan ini, to make sense the reality of suffering. Ini
salah satu tujuan mengapa teologi atau agama-agama dibangun. Berbagai
teologi bermunculan. Sangat kaya. Kreatif. Enjoyable. Itulah dunia
metafora. Ada metafora yang bagus dan bermanfaat; ada juga metafora
yang tidak bagus dan tidak bermanfaat.
Nah, anehnya,
meskipun mereka menganut agama tanpa Tuhan supernatural, kaum ateis
selalu mendesak (kerap dengan nada mengolok-olok) kaum teis untuk
menyusun teologi tentang Tuhan yang sanggup menghapus semua penderitaan
dalam dunia ini supaya terbukti Tuhan ini tidak lemah dan karenanya
dapat dipercaya dan layak disebut Tuhan. Ternyata orang teis jauh lebih
cerdas dari kaum ateis. Kaum teis akan menyatakan kepada para ateis
demikian: Tuhan yang menghapus seluruh penderitaan dalam dunia adalah
Tuhan kamu, Tuhan para ateis, bukan Tuhan kami, kaum teis. Bagi kami,
berhubung kami tahu penderitaan adalah bagian dari struktur dan kodrat
kosmologis, yang sudah ada jauh sebelum agama teisme disusun, teologi
semacam yang dituntut kalian, para ateis, adalah teologi isapan jempol
kaum ateis. Bukan teologi itu yang kami butuhkan! Kami membangun
metafora yang lain.
Metafora teologis yang bagus
menyatakan bahwa Tuhan ada justru untuk menemani dan menguatkan setiap
insan yang menderita. Ini dinamakan teologi "Immanuel" (Ibrani), artinya
teologi "Tuhan beserta kita"! Bahkan dalam metafora teologis terkuat
dalam kitab suci Perjanjian Baru, digambarkan bahwa Allah sendiri mati
di kayu salib untuk menanggung semua penderitaan manusia.
Lepas dari apakah metafora ini efektif dan mujarab dengan real, hal
yang pasti adalah umat yang sedang menanggung azab umumnya merasa
dikuatkan oleh metafora solidaritas Allah ini. Jelas, Tuhan bukan sumber
azab dan juga bukan impotent terhadap azab. Tuhan justru
membuat setiap insan yang menderita tabah dan kuat dan tetap punya
harapan. Nah, jika metafora yang bagus ini dihina dan dicemooh para
ateis, saya sungguh tidak bisa paham apa yang mengisi pikiran mereka.
Jelas,
religiofobia (kebencian terhadap agama) sudah menjadi bagian integral
dari iman ateisme, sehingga mereka tidak bisa melihat ada sangat banyak
keindahan yang menyentuh hati dalam dunia agama-agama. Sayang sekali
jika agama-agama yang bagus ini mau dilenyapkan oleh mereka, diganti
dengan agama baru yang namanya ateisme, agama tanpa Tuhan supernatural.
Tapi masih ada sebuah kisah lain yang perlu kita dengarkan juga.
Bagaimana
halnya dengan azab yang terjadi bukan karena sebab natural? OK. Lihat
dan renungi gambar di bawah ini. Penderitaan yang dipesankan oleh
gambar di bawah ini tidak membutuhkan ateisme, tetapi membutuhkan cinta
kasih, solidaritas, dan keadilan mendistribusi kekayaan dunia!
Penderitaan semacam ini bukan datang dari Tuhan, bukan juga sebuah bukti Tuhan itu impotent dan kejam, tetapi
datang dari sesama manusia yang kejam dan sebagai bukti sedang
bekerjanya sistem ekonomi dunia yang tidak adil. Lewat anda yang
terketuk hati, Tuhan mau azab semacam ini teratasi. Sekali lagi, bukan
lewat ateisme, tetapi lewat kerjasama global memerangi kemiskinan, bukan
oleh Tuhan, tetapi oleh semua orang yang memiliki cinta dan
solidaritas.
Anehnya,
kaum ateis menghendaki azab karena ulah manusia ini dipelintir
menjadi azab karena ulah Tuhan. Katanya mereka menolak teologi apapun,
tetapi anehnya mereka sendiri berteologi saat mereka mengasalkan azab
ini kepada Tuhan. Katanya mereka tidak percaya Tuhan, tapi anehnya
mereka memikirkan dan memandangTuhan sebagai kejam, tak punya daya, dus
tidak layak disebut sebagai Tuhan. Ateisme memang penuh kontradiksi
internal. Ciri umum agama.
Tak pelak lagi, inilah nasihat
saya kepada para ateis: Kutuklah manusia-manusia tamak dan sistem
ekonomi yang tidak adil, bukan mengutuk Tuhan. Berapa banyakpun anda
mengutuk Tuhan, keadaan yang memelas ini tidak akan hilang. Sumber azab
ini bukan Tuhan, tetapi manusia. Periksalah berapa banyak orang ateis
yang ikut serta berperan dalam melahirkan azab semacam ini! Peace be with all the living.
Selamat merayakan HUT NKRI 17 Agustus 2014!
https://www.facebook.com/notes/ioanes-rakhmat-full/menjawab-kaum-ateis-apakah-penderitaan-bukti-tidak-adanya-tuhan/10152630985764096
Tidak ada komentar:
Posting Komentar