Dasar negara kita sebenarnya terjadi dari pada tiga pokok kesatuan: tanah air satu, kebangsaan satu, dan bahasa satu.
Pada
hakikatnya dari pada tiga pokok kesatuan itu hanya kesatuan tanah
airlah yang asli. Tentang kesatuan kebangsaan berlain-lain pendapat yang
sudah dikemukakan oleh berbagai-bagai ahli pengetahuan dalam masa
berlain-lain.
Memang ada satu yang ganjil dalam
makna kebangsaan. Keganjilan itu amat nyata sekali dalam kata bahasa
Arab, yang terlebih dekat maknanya dengan kata bangsa dan
kebangsaan;yaitu logat “sya’b”. Kata itu, yangdipakai untuk qabilah (suku
bangsa)besar, sehingga dapat berdiri sendiri, mengandung dua arti yang
bertentangan:(1) arti “menghimpun” dan (2) arti “memisah”. Memang dua
arti yang bertentangan itu termasuk dalam tabiat kebangsaan.
Seorang
yang merasa termasuk, artinya terhimpun, kepada satu bangsa dengan
sendirinya menganggap “asing”, yakni terpisah, tiap-tiap orang, yang
tidak termasuk kepada bangsanya itu. Sebaliknya kitapun merasa diri kita
“asing” atau terpisah, apabila kita berada dalam kalangan bangsa lain,
bukan bangsa kita. Perasaan itu pada tingkatan berlebihan biasa
dinamakan orang “tabiat semut”, oleh karena semut, yang sangat rukun dan
sangat berdisiplin dalam “bangsanya” sendiri, yaitu kawan-kawannya
semut yang sama sesarang, tetap bermusuh dan berkelahi apabila bertemu
semut dari sarang lain.
Lebih-kurang begitu pula halnya
dengan tiap-tiap bangsa hewan, misalnya anjing hutan dan sebagainya
yang dalam kehidupan liar berhimpunan dalam satu-satu kawanan.
Dari
pada keterangan ini dapatlah kita simpulkan, bahwa perasaan kebangsaan
itu menjadi seolah-olah bagian daripada tabiat kita, sungguhpun bukan
bawaan dari pada kelahiran, melainkan tumbuh dalam kehidupan pergaulan.
Pokok
kesatuan yang ketiga, yaitu bahasa satu, tidak sesungguhnya menjadi
syarat kesatuan bangsa. Bangsa Swiss misalnya bertanah air satu dan
kebangsaan satu dan sejak berabad-abad selalu bersatu membela
kemerdekaan tanah airnya dan bangsanya berhadapan dengan tiap-tiap
bangsa asing yang hendak menguasainya. Itupun bangsa Swiss tetap
berbahasa tiga: bahasa Prancis di barat, bahasa Jerman diutara dan
timur, bahasa Italia di selatan. Bangsa Beldjika atau Belgia berbahasa
dua: bahasa Vlaming di barat dan utara, bahasa Prancis di timur dan
selatan.
Tapi bangsa kita, Indonesia dalam pergerakan
kemerdekaannya telah merasakan perlu mempunyai bahasa persatuan dalam
perjuangan politiknya untuk menentang perpecahan, yang disengaja
mengadakannya oleh kaum penjajah; dan lagi untuk melancarkan usaha
pergerakan kita meliputi segenap bangsa dalam seluruh kepulauan kita
ini. Maka telah kita jadikan kesatuan bahasa sebagai bahan persatuan dan
bahasa kebangsaan sebagai satu wajib yang telah kita akui bersama-sama
dengan kekuatan ikatan sumpah pergerakan pemuda kita dalam tahun 1928,
dan selanjutnya diperteguh oleh pergerakan pemuda dari tahun ke tahun,
sehingga dijadikan hukum dalam undang-undang negara kita.
Nyanyian
kebangsaan kita memakai bahasa Indonesia. Pernyataan kemerdekaan kita
diucapkan dengan bahasa Indonesia. Dan angkatan muda kita telah
menerbitkan kesenian suara dan susastera dalam bahasa Indonesia.
Tapi
di luar pokok kesatuan yang tiga itu, kita akui, bahkan kita jamin
kemerdekaan rakyat warga negara dan penduduk sekalian dalam keyakinan
agama dan politik, dalam cara pencaharian rezeki dan kebahagiaan hidup,
dalam perkataan melahirkan pikiran dan pendapat, dengan lisan atau
tulisan atau cetakan. Dengan hanya satu syarat, yaitu asal jangan
melanggar hak-hak pergaulan atau hak-hak orang masing-masing, serta juga
tidak melanggar adab kesopanan pihak ramai, dan tidak melanggar tertib
keamanan dan damai.
Dalam karangan ini kita hendak
mewujudkan minat kepada kemerdekaan agama itu. Bagaimanakah kemerdekaan
itu harus dipahamkan dalam negara kita, yang didasarkan kepada
kepercayaan kepada Ketuhanan yang Maha Esa.
Dapatkah
dengan asas negara itu kita mengakui kemerdekaan keyakinan orang yang
meniadakan Tuhan? Atau keyakinan agama yang mengakui Tuhan berbilangan
atau berbagi-bagi?
Tentu dan pasti! Sebab undang-undang
dasar kita, sebagai juga undang-undang dasar tiap-tiap negara yang
mempunyai adab dan kesopanan mengakui dan menjamin kemerdekaan keyakinan
agama, sekadar dengan batas yang tersebut itu tadi, yaitu asal jangan
melanggar hak-hak pergaulan dan orang masing-masing, jangan melanggar
adab kesopanan ramai, tertib keamanan dan damai.
Adapun
asas Ketuhanan Yang Maha Esa itu menjadi asas negara kita, sebagai
hasil daripadademokrasi, yang menjadi rukun yang terutama dalam
Undang-Undang Dasar negara kita. Bangsa kita hampir segenapnya beragama
islam, agama tauhid yangsetegas-tegasnya. Yang beragama Nasrani atau
Masehipun, dengan perbedaan ajaranaqaib banyak sedikitnya tidak orang
termasuk juga agama berasas keesaan tuhan (monoteisme).
Sekarang
berhadapan dengan kemerdekaan keyakinan yang mutlak itu, apakah yang
menjadijabatan dan apakah yang menjadi tugas Kementerian Agama di dalam
negara kitay ang bersifat negara kesatuan dan berbentuk republik?
Untuk
menjawab pertanyaan itu kita harus memeriksa apakah dasar pendirian
Kementerian Agama, atau lebih tegas Kementerian Urusan Agama yang
barangkali tidak ada bertemu kementerian macamnya dalam umumnya
negara-negara merdeka di dunia ini.
Dalam pemeriksaanitu kita akan menemui pada asalnya, bahwa tatkala Jepang masuk ia mendapati kantor urusan ibadat (Eeredienst) dalam Departemen Pengajaran dan Urusan Ibadat (Onderwijs en Eeredienst) dalam susunan pemerintahan jajahan Hindia Belanda. Jua didapatnya kantor Penasehat tentang Urusan Agama Islam dan bangsa Arab (Adviseur voor Islamietische en Arabische Zaken).
Dalam
masa kekuasaan Belanda Kantor Urusan Ibadat itu mempunyai tugas
pengawasan,pertama-tama atas gereja Protestan dan gereja (Missie)
Katolik, juga mempunyai kedudukan resmi dan padri-pendetanya mendapat
angkatan (pengakuan) daripada pemerintah dan diberi gaji dari
perbendaharaan negeri.
Di samping itu kantor tadi itu
ada pula urusan berkenaan dengan berbagai-bagai lembaga penyiaranagama
kristen (Zending) yang tidak langsung termasuk dalam lingkungan
gerejayang resmi dan yang selain mengusahakan penyiaran agamanya,
mengusahakanpengajaran dan pengobatan, dengan sekolah-sekolah dan
rumah-rumah sakit, denganmendapat bantuan belanja (subsidi) dari
perbendaharaan negeri.
Pada umumnya, urusan dengan
gereja (missie dan zending) dan sebagainya itu semata-mata bersifat
teknis (urusan uang dan daerah pekerjaan), tidak mengenai
pengajaranagama atau politik.
Berlainan sekali
kedudukan kantor Penasehat Urusan Islam dan bangsa Arab itu. Kantor ini
sangatbanyak mengenai politik. Tugasnya yang pertama ialah memata-matai
segala gerak-gerik mengenai agama dan politik dalam kalangan kaum Islam,
baik tentang ajaran dan ibadahnya, maupun pergerakan politik yang
didasarkan atas agama Islam.
Adapun kekuasaan Jepang
dari bermula sangat menarik minat atas pengaruh yang dapat
dilakukandengan pekerjaan dua kantor tadi itu. Memang kekuasaan Jepang,
isitimewa karenaia menghadapi keadaan perang, hendak menguasai dan
mempengaruhi segala urusanrakyat. Oleh karena itu dari mula-mula
masuknya segera diadakannya KantorUrusan Agama untuk meneruskan
pekerjaan kantor-kantor dari masa Belanda tadiitu.
Terhadap
kepada gereja-gereja, missie dan zending, yang umumnya termasuk urusan
bangsa asing, tidak banyak perhatiannya. Kebanyakan orang-orang yang
mengerjakan urusan dalam badan itu termasuk bangsa “musuh”, yang
sebahagian besar dimasukkan tawanan atau interniran dan pada umumnya
sangat dibatasnya keleluasaannya bekerja. Sekolah-sekolah dan
rumah-rumah sakit, apabila tidak ditutupnya, dijadikannya urusan pihak
kekuasaan.
Tapi terhadap kepada agama Islam pihak Jepang mengadakan politik sendiri.
Dengan sengaja yang sangat dikentarakan, pihak Jepang memberi perhatian
luar biasa kepada agama Islam dengan menggunakan organisasi dan
pemimpin-pemimpin Islam yang sudah ada dari dulu, M.I.A.I.(Madjelis
Islam A’la Indonesia) diberi kedudukan istimewa untuk dapat mengawasi
pergerakan dan pengajaran Islam dalam seluruh negeri dengan jalan
memasukkan segala kyai dan santri dalam pengawasan dan di bawah pimpinan
M.I.A.I. itu.
Tetapi sebagaimana juga organisasi
rakyat di luar urusan agama dalam PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) tak dapat
diputarkan roh dan semangatnya dari kecintaantanah air dan bangsa atas
dasar kebangsaan Indonesia dan kerakyatan belaka, begitu pula ternyata,
bahwa M.I.A.I. tak dapat diputar roh dan semangatnya berbelok daripada
agama Islam belaka. Kursus diadakan buat kyai-kyai dengan nama “Latihan
Ulama” untuk memasukkan sebanyak-banyaknya propaganda dan akhirnya
M.I.A.I. dari badan pimpinan dijadikan badan permusyawaratan dengan nama
Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia).
Masyumi
buatan Jepang itu dengan sendirinya bubar dengan jatuhnya Jepang dan
hampir segala suratnya habis dibinasakan oleh pegawai-pegawai Jepang.
Masyumi yang berdiri kemudian dalam kemerdekaan sebagai gabungan segala
partai dan perserikatan Islam sekali-kali tidak ada hubungan dengan
Masyumi yang dulu itu.
Hasil yang dapat hanyalah
membesarkan pengaruh agama atas rakyat, tapi tidak dapat mengabdikan
rakyat itu untuk haluan dan tujuan Jepang. Sekolah tinggi Islam dapat
berdiri menjadibibit universitas Islam yang ada kini. Gedung
perpustakaan Islam diadakan yang juga terus dapat dilanjutkan dalam
republik. Begitulah dengan takdir Ilahi kekuasaan Jepang atas tanah air
kita, menghasilkan kemajuan yang nyata untuka gama Islam dalam cara
berorganisasi dan pengajaran.
Perhatian yangsudah
tertaur dalam pemerintahan itu tidak dibiarkan luput kembali ketika
Republik kita berdiri. Di situlah permulaan Kementerian Urusan Agama
yang menyambut warisan dari kekuasaan Belanda yang dahulu dan kekuasaan
Jepang yang kemudian.
Tapi politik agama dalam republik
kita berlain dengan politik yang dulu-dulu. Pertama sekali ia tidak
bertujuan menolong membesar-besarkan usaha pihak agama lain untuk
memindahkan orang Islam dari agamanya yang asli. Tapi sebaliknya tidak
pula ia mengadakan larangan, apalagi hukuman atas kehidupan agama.
Terhadap
agama Islam, politik Pemerintah kita tidak menilik kepadanya dengan
cemburu atau curiga seperti Belanda dulu dan tidak pula bermaksud hendak
membesar-besarkan kebencian dan permusuhan kalangan kaum Islam terhadap
kepada “agama kaum penjajahan”.
Tapi sebagai memang
sepatutnya, sebagai satu pemerintah atas bangsa yang kira-kira sembilan
puluh persen atau lebih, lahir di dalam dan hidup di dalam adat Islam
yang turun temurun, politik pemerintah itu menunjukkan sebanyak-banyak
perhatian dan membesar-besarkan usaha untuk memajukan pelajaran agama
Islam dan mendorong dan menyokong kemajuan dan perkembangan segala sifat
dan kodrat yang dikehendaki oleh agama Islam untuk kebajikan (islah) dan mencapaikan kejayaan (falah) untuk tanah air dan bangsa segenapnya.
Segala
itu dengan hati-hati menjaga diri pihak kekuasaan, supaya tetap
menghormati kemerdekaan mutlak dari pada tiap-tiap orang berkenaan
dengan agamanya, baik Islam atau lain, baik dalam aqaid atau
ibadat atau syariat, mengenai diri orang masing-masing atau
perkumpulan-perkumpulan agama. Dan segala itu dengan mengingat
syarat-syarat yang membatasi kemerdekaan mutlak itu, seperti yang sudah
diterangkan tadi.
Alhasil, Kementerian Urusan Agama
negara kita, tetap harus mengingat bahwa sekalipun bangsa kita
sebahagian besar sekali beragama Islam, akan tetapi negara kitatidak
menetapkan agama Islam sebagai agama negara yang diwajibkan atas segala
rakyat.
Bersetuju dengan asas-asas yang diajarkan
dalam agama Islam, kita harus mengakui bahwa tetap adanya berbagai-bagai
agama itu di atas dunia memang dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala sebagaimana ditegaskan di dalam Quran Surat Al-Maidah, ayat 51;
bahagian kedua: (Dan bagi masing-masing telah Kami adakan jalan dan
petunjuk. Jika ada Allah menghendaki, niscayalah kamu dijadikan satu
umat, tapi (telah ditakdirkannya sebagai tersebut tadi) supaya
dicobainya kamu dalam (agama) yang telah diberikannya kepada kamu. Maka
berlomba-lombalah dalam kebajikan).
Bahkan terhadap
kepada mereka yang meniadakan Tuhan pun dan yang beragama Ketuhanan
berbilangan atau berbagi-bagi, tidaklah Tuhan menghendaki kita melakukan
paksaan, bahkan tidakpun dibenarkan kita menghadapkan celaan dan
cacian, mengingat firman Allah Ta’ala dalam Surat Al-An’am, ayat 108,
bahagian pertama yang artinya: (Janganlah kamu mencaci siapa-siapa yang
mereka seru lain dari pada Allah).
Dalam kedua-dua hal
itu dinyatakan bahwa keputusan penghabisan hanya Allah Ta’ala yang akan
memberinya dengan cara yang tak dapat lagi dimungkiri atau dielakkan
oleh barang siapa yang bersangkutan. Dengan tegasnya sekali dinyatakan
dalam satu ayat yang berikut kemudian (ayat 111), bahwa memilih
kepercayaan agama itu tidak dengan bukti dan tidak dengan kehendak
manusia, melainkan semata-mata bergantung kepada kehendak Allah jua:
Sambil
mengingat ajaran agama Islam yang tersebut itu, yang banyak lagi
ayat-ayat untuk menjelaskannya dan menegaskannya, dapatlah kita mengerti
bahwa sungguh besar dan mulia jabatan dan tugas dalam lapangan
Kementerian Urusan Agama. Terutama sekali penting, karena kepada
kebijaksanaannya dan kecakapannya amat banyak tergantung pemeliharaan
kesatuan kebangsaan kita yang perlu untuk memeliharakan dan membela
kesatuan tanah air kita.
Satu dalam kebulatan
kesatuan yang kokoh teguh, tidak dapat dipecah belah, dipisah-pisah atau
dibagi-bagi oleh siapapun jua. Tetap merdeka! Tetap bersatu!
*Dimuat dalam Agenda Kementrian Agama, 1951/1952
Oleh H. Agoes Salim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar