PPC Iklan Blogger Indonesia

Rabu, 27 Agustus 2014

NOTES DJATI AGUNG NUGROHO: THE STONING OF SORAYA MANUCHEHRI

Kupayeh, Iran. Di tempat ini di tahun 1986 terjadi peristiwa memilukan yang menimpa Soraya Manutchehri. Soraya dirajam (dilempari batu sampai mati) sebagai hukuman atas perzinahan yang dituduhkan kepadanya. Peristiwa yang semestinya dilokalisir (baca : disembunyikan) dari dunia luar oleh penduduk setempat. Namun, bila Tuhan berkehendak, serapat apapun bangkai busuk disimpan, pada akhirnya tersebar juga aromanya.

Sehari setelah peristiwa terjadi, Freidoune melintas di Kupayeh. Malang, mobilnya mogok. Namun tak disangka olehnya bahwa kemalangan itu membuat dirinya mendapat berita besar. Saat seorang wanita, Zahra, mendesak bertemu untuk menceritakan apa yang menimpa keponakannya, sembari menunggu mobil diperbaiki.

Soraya (Mozhan Marno) adalah seorang ibu dari empat anak, dua lelaki dan dua perempuan. Ali (Navid Negahban), suaminya, adalah seorang sipir penjara yang berpengaruh. Dengan pengaruhnya, dia bisa membebaskan terpidana yang bersalah, pastinya dengan imbal jasa. Salah satu terpidana yang pernah merasakan ’kebaikan’ Ali adalah Mullah (Ali Pourtash), seorang pemuka agama setempat. Kepada Mullah inilah Ali menagih budi baiknya dahulu dengan meminta Mullah untuk mendukungnya bercerai. Gara-garanya Ali kebelet kawin (lagi) dengan perawan 14 tahun, anak dari salah satu napinya (mungkin Syeh Puji sudah duluan nonton film ini dibanding saya). Sipir ini bermaksud mengawininya, namun merasa berat bila harus menafkahi dua istri sekaligus. Jadi, istri yang sekarang harus disingkirkan.

Soraya bersikeras tidak mau bercerai atau diceraikan, kendati suaminya kerap menyakiti secara fisik, tidak bertanggung jawab, kerap main perempuan, bahkan menghasut kedua anak lelakinya untuk membenci ibunya. Sadar bahwa cara-cara itu tidak akan berhasil, maka Ali dan Mullah menyusun siasat jahat dengan melibatkan Hashem (Parviz Sayyad), wiraswastawan bengkel yang baru ditinggal mati istrinya.

Caranya, para licikus itu mendesak Soraya untuk bekerja di rumah Hashem membantu mengurusi rumah tangga dan anak semata wayang Hashem, mengingat Hashem masih dalam kondisi limbung akibat ditinggal mati istrinya. Setelah beberapa hari Soraya bekerja, Hashem dipanggil oleh kedua tokoh antagonis kita tersebut, duet maut Ali dan Mullah. Dia didesak untuk membuat pengakuan palsu di hadapan walikota Ebrahim (David Diaan), bahwa ada perzinahan yang terjadi antara dirinya dengan Soraya. Pria lugu ini tidak berdaya di bawah intimidasi mereka. Pilih menuruti kemauan mereka atau anaknya akan diubah statusnya dari piatu menjadi yatim piatu! Hashem memilih opsi yang pertama.

Atas dasar kesaksian palsu itu, dan dengan dibumbui hasutan Ali kepada para tetangga bahwa istrinya telah berzinah, walikota menjatuhkan vonis hukuman rajam kepada Soraya. Pembelaan diri Soraya yang didukung penuh bibinya tidak didengar sama sekali. Pernyataan Zahra bahwa all women are guilty, and all men are innocent jelas menunjukkan bahwa di daerah itu kesetaraan gender belum mendapat tempat yang layak. Perempuan hanyalah alas kaki laki-laki, yang untuk berpendapat pun tak akan didengar. Dengan tubuh dipendam sebatas pinggang dan tangan terikat, Soraya harus menghadapi maut, menyongsong ratusan batu yang meluncur deras mengarah kepadanya.

 Secara teknis, film garapan Cyrus Nowrasteh ini sungguh memikat, kendati kisahnya sangat menyayat. Walaupun sangat muak dengan kisah persekongkolan yang terjadi di dalamnya, untuk kualitas filmnya sendiri sangatlah berkelas. Dari pengenalan karakter, ilustrasi musik, sajian drama yang solid, sampai dengan klimaks yang menggetarkan. Adegan eksekusi ditampilkan secara eksplisit, brutal, dengan durasi yang cukup panjang. Adegan pamungkas yang betul-betul mencekam dan menggedor batin, saya sampai lemas dibuatnya. Apalagi mengetahui bahwa film ini diangkat dari kisah nyata, semakin lunglailah saya membayangkan peristiwa kelam itu senyatanya ada.

Sembari menonton, saya tidak habis pikir bagaimana kerumunan orang banyak itu bisa sampai hati melempari seorang wanita yang adalah sesama mereka. Tetangganya sendiri, kawannya sendiri, istrinya sendiri, anaknya sendiri, dan ibunya sendiri! Ya, di antara para eksekutor yang terhormat dan merasa dirinya lebih suci dibanding terpidana itu ada suami Soraya, ayahnya, dan anaknya yang turut melempar batu. Miris!

Saya bisa turut merasakan dera dan ketakutan luar biasa yang dirasakan Soraya. Saat tangan-tangan itu mulai teracung dengan batu di kepalan, dilempar, dan menghantamnya. Dari hukuman itu hidup manusia seolah tidak ada nilainya, bahkan seandainya Soraya betul bersalah sekalipun. Apalagi hukuman mahaberat itu ditimpakan atas dakwaan dengan dasar metode pembuktian yang sangat lemah. Cukup dua orang bersepakat untuk bersaksi (entah benar entah tidak kesaksiannya, yang penting sepakat) hukuman maut dapat dijatuhkan. Hukuman yang tidak dapat dikoreksi lagi bila ternyata kesaksiannya didapati salah di kemudian hari.

Bukankah hidup itu Tuhan yang memberikan? Tentu hanya Tuhan yang berhak mengambilnya, karena sejatinya punya Dialah hidup ini. Manusia tidak berhak sedikit pun. Termasuk manusia yang berlagak seperti Tuhan dan merasa dirinya mendapat mandat untuk mencabut nyawa seseorang. Terkait soal mandat, di antara mereka sebetulnya ada yang berwenang untuk menyelamatkan Soraya. Namun oleh karena rasa kemanusiaan yang sudah majal, mereka tidak menggunakan kewenangan dan kekuasaannya untuk menganulir hukuman. Saat lemparan pertama oleh ayah Soraya yang tak kunjung menemui sasaran, dan para wanita sudah lantang berteriak itu sebagai pertanda bahwa Tuhan tidak menghendaki eksekusi dilaksanakan, walikota dan (apalagi) pemuka agama itu tetap bergeming. Membiarkan pembantaian dilanjutkan.

Nilai-nilai kemanusiaan yang terkikis, manusia-manusia yang buta nurani, pemberangusan hak-hak wanita, adalah pesan-pesan yang hendak disampaikan dalam film ini. Bukan pesan untuk dilakukan tentunya, tapi untuk dihindari bila menghendaki terciptanya sebuah tatanan kehidupan yang beradab dan manusiawi. Setelah menyaksikan film ini, saya dapat mendoktrin diri saya sendiri bahwa tidak ada dalih apapun atau dasar apapun yang dapat membenarkan untuk sebuah tindakan anti-kemanusiaan brutal seperti ini. God bless us....

Sumber:  Atas izin dari Djati Agung Nugroho
https://www.facebook.com/notes/djati-agung-nugroho/the-stoning-of-soraya-m-2008-all-women-are-guilty-and-all-men-are-innocent/263084810405645











Tidak ada komentar:

Posting Komentar